Selasa, September 30, 2008

Pengembangan Isi Paragraf

Paragraf dengan bangun ide terfokus adalah paragraf yang paling banyak dipakai dalam sebagian besar tulisan non fiksi. Bangun paragraf seperti ini, disamping mudah penulisannya, juga digemari oleh orang-orang yang gemar membaca cepat dengan sisstem pemindaian. Dengan memindai kalimat topiknya, pembaca sudah dapat menangkap ide paragraf secara keseluruhan.

Paragraf dengan bangun ini selalu mengandung satu kalimat topik yang akan mewakili ide keseluruhan paragraf itu. Kalimat-kalimat lain, walaupun terdiri dari beberapa, dalam paragraf itu berfungsi mengembangkan ide kalimat topik sehingga lebih jelas dan tuntas maksudnya. Penulisan paragraf itu biasanya dimulai dengan menuliskan kalimat topik tersebut lebih dulu, baru kemudian disusul dengan penulisan kalimat-kalimat pengembang. Bahkan, sebagian orang telah menulis kalimat topik di saat pembuatan rangka karangan (outline). Dari kalimat topik inilah akan dimulai penjelajahan pikiran untuk menemukan ide-ide pengembang pada kalimat pengembang.

Berdasarkan penempatan kalimat pengembang terhadap kalimat topik, ada tiga bentuk paragraf. Yang pertama adalah paragraf yang semua kalimat pengembang ditulis sebelum kalimat topik sehingga kalimat topik berfungsi sebagai kesimpulan. Paragraf ini disebut paragraf induktif. Yang kedua adalah paragraf yang semua kalimat pengembangnya ditulis setelah kalimat topik, sehingga kalimat topik berfungsi sebagai pembuka paragraf. Paragraf ini disebut paragraf deduktif. Yang ketiga adalah paragraf yang sebagian kalimat pengembang ditulis sebelum kalimat topik dan sebagian lagi setelahnya. Paragraf ini disebut paragraf abduktif.

Agar tidak menjemukan, seorang penulis yang baik akan mencampur ketiga bentuk paragraf itu dalam wacananya. Pemakaian satu bentuk saja membuat wacana menjadi monoton, tidak dinamis.

Berdasarkan kandungan kalimat-kalimat pengembang relatif terhadap kandungan kalimat topik, paragraf dapat dibedakan dalam tujuhjenis yaitu:

  1. Kausalitas
  2. Argumentasi
  3. Definisi
  4. Sekuensi
  5. Perbamdingan
  6. Percontohan
  7. Klasifikasi
  8. Persuasi

Misalnya seseorang telah membuat kalimat topik suatu paragraf berbunyi Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Selanjutnya ia tinggal menuliskan kalimat-kalimat yang berisi pengembangan atas apa yang dibicarakan kalimat topik tadi. Variasi kandungan kalimat pengembang inilah yang menjadikan paragraf bervariasi pula.

Jika kalimat pengembang memberikan informasi berupa sebab terjadinya pemborosan, maka paragraf itu disebut paragraf kausalitas. Demikian pula bila ia memerincikan akibat yang akan terjadi yang disebabkan pemborosan, maka paragraf itu juga disebut paragraf kausalitas. Contoh paragrafnya adalah:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan.
Pemborosan itu disebabkan oleh semakin lemahnya kontrol birokrasi sebagai cerminan kepentingan politik yang makin banyak dalam sisitem multi partai. Pemborosan uang negara itu menyebabkanpengurangan anggaran belanja untuk proyek-proyek yang menjadi kepentingan orang banyak seperti kesehatan dan pendidikan.

Tapi bila penulis tidak tertarik merincikan sebab-sebab ataupun akibat-akibat pemborosan, dan dia lebih tertarik untuk menuliskan alasan mengapa ia berani mengatakan pernyataan itu, maka berarti dia telah membangun paragraf argumentasi. Contohnya adalah:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan.
Untuk pelaksanaan pemilu si satu kabupaten saja, diperlukan dana lebih dari 30 milyar Pemilu di tingkat propinsi menelan biaya sepuluh kali lipatnya. Pemilu di tingkat pusat menelan biaya lebih dari 100 kali lipat. Coba bayangkan jika jumlah kabupaten dan kota di Indonesia mencapai lebih dari seratus, dan jumlah propinsi mencapai 40. Apalagi di tingkat pusat, selalu ada dua kali pemilu, eksekutif dan legislatif.

Cara lain yang digunakan penulis dalam menjelaskan tentang pemborosan uang negara akibat sistem pemerintahan desentralisi adalah dengan mendefiniskan apa yang dimaksud dengan pemborosan itu. Penulis dapat mendefinisikan salah satu kata kunci pada kalimat topik, maka paragraf itu dinamakan paragraf definisi. Contohnya adalah:

Sistem pemeintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan.
Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan desentralisasi adalah sistem pemerintahan daerah yang langsung dipilih oleh rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan pemborosan adalah pengeluaran uang melebihi kadar yang wajar dibandingkan dengan kepentingan negara lainnya selain kepentingan politik.

Jika penulis mencantumkan bahwa selain memboroskan uang negara, sistem pemerintahan desentralisasi juga melemahkan sendi-sendi budaya dan moral, demikian seterusnya, maka paragraf itu disebut paragraf sekuensi. Paragraf sekuensi merincikan semua pernyataan yang setara dalam urutan waktu atau urutan posisinya dalam ruang. Pola ini banyak digunakan dalam tulisan deskripsi dan narasi. Contohnya adalah:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Bukan saja itu, sistem ini telah melemahkan sendi-sendi budaya dan moral. Selanjutnya, sistem itu akhirnya akan membawa bangsa kepada kehancuran.

Jika si penulis menjelaskan bahwa pemborosan uang negara oleh sistem pemerintahan desentralisasi bagaikan rayap memakan kayu, dia telah membangun paragraf perbandingan. Di sini ia membandingkan kesamaan antara rayap dan sistem multi partai yang sama-sama menghabiskan mangsanya berupa kayu dan uang negara. Perbandingan tidak berarti persamaan. Jika ia membandingkan antara sistem multi partai dan mono partai berkaitan dengan keperluan akan uang negara, itu juga termasuk paragraf perbandingan. Perbandingan bertujuan mencari keserupaan di antara hal-hak yang berbeda, atau mencari perbedaan di antara hal-hal yang sama. Contohnya adalah:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Bagaikan rayap yang menggerogoti kayu, sistem ini telah memakan secara berangsur-angsur aset negara hingga negara itu secara perlahan-lahan dihancurkan. Berbeda dengan sistem terpusat, jumlah pengeluaran negara untuk kepentingan politik di sistem ini ternyata melebihi pengeluaran di bidang lain.

Penulis bisa pula memberikan satu contoh atau ilustrasi untuk memperjelas bahwa sistem pemerintahan desentralisasi memboroskan uang negara. Paragraf yang dibangun disebut paragraf percontohan. Contohnya:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Sebagai contoh, satu kali pemilu di tingkat kota diperlukan dana lebih dari 40 milyar. Jika di Indonesia ada 100 kabupaten/kota, berarti biaya pemilu akan mencapai 4000 milyar.Biaya ini belum memasukkan biaya pemilu di tingkat propinsi dan tingkat pusat.

Kalau definisi hanya menjelaskan apa itu pemborosan, paragraf klasifikasi mencoba mengelompokkan pemborosan ke satu kelompok tertentu, misalnya kelompok biaya sosial pemerintahan, maka paragraf itu disebut paragraf klasifikasi. Contohnya:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Pemborosan ini termasuk salah satu dari kelemahan sistem desentralisasi, disamping kelemahan yang lain seperti birokrasi yang semakin panjang, perebutan kekuasaan, dll.

Jika penulis memberikan petunjuk untuk menekan pemborosan, itulah contoh paragraf persuasi. Contohnya:

Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia telah memboroskan uang negara secara signifikan. Jika pemborosan kepada hal yang tak bermanfaat banyak itu bisa ditekan, banyak kepentingan sosial lain yang dapat diselesaikan oleh kita. Rasanya tidak ada yang perlu kita tunggu lebih lama sebelum negara kita hancur, kecuali kita harus segera meninggalkan sistem desentralisasi ini dan kembali kepada sistem yang lebih bermartabat.

Berdasarkan format penulisan kalimat pengembang terhadap kalimat topik, dikenal tiga bentuk paragraf, yaitu:

  1. Model kalimat
  2. Model daftar
  3. Model bergambar

Paragraf dengan format pertama berbentuk rangkaian kalimat satu demi satu sampai ke akhir paragraf. Kalimat-kalimat itu sambung bersambung. Sistem penulisan paragraf seperti contoh-contoh di atas adalah jenis ini.

Jika paragraf itu berisi beberapa informasi yang bisa diungkapkan dalam bentuk kata atau frasa, format model daftar dapat diterapkan. Format ini mencantumkan informasi-informasi dalam sususunan daftar. Contohnya:

Tiga hal yang menjadi sorotan kajian saya akhir-akhir ini, yaitu:

  • pengembangan pribadi
  • investasi, manajemen dan teknologi
  • kesastraan

Tidak cukup puas dengan kata-kata, informasi paragraf dapat dilengkapi foto, gambar, atau tabel. Dengan cara ini pembaca dapat membayangkan secara langsung apa yang dimaksud oleh penulis di kalimat topik. Contohnya:

Salah satu yang membedakan sistem pelapisan antikarat beton dan plastik untuk tiang pancang di laut adalah kemampuan pelapis itu menahan pelumutan tiang seperti diilustrasikan dalam foto di bawah ini.

(foto)



Paragraf yang efektif

"Apapun yang terjadi, saya akan mati-matian untuk menjaga paragraf ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 45 itu dijamah oleh tangan-tangan jahil yang menginginkan Indonesia berubah wajah" kata Permadi dalam suatu debat politik yang disiarkan MetroTV beberapa tahun yang lalu. O, nampaknya Pembukaan UUD'45 itu terdiri dari beberapa paragraf dan wajah Indonesia ada di paragraf ke empat.

Saya tidak akan membicarakan tentang wajah Indonesia di sini, apalagi membicarakan tentang Permadi dengan Pembukaan UUD'45-nya itu. Itu semua adalah pembiacaraan berat. Di sini, saya hanya akan membicarakan yang ringan-ringan saja, yaitu tentang paragraf.

Dalam setiap wacana, ada satu unit terkecil tulisan yang dinamakan paragraf. Memahami bangun paragraf, berarti kita telah memasuki wilayah tulis menulis yang sangat penting, karena di dalam paragraf inilah terdapat esensi dari tulisan itu sendiri.

Paragraf adalah sejumlah kalimat yang disusun untuk membangun satu unit pikiran atau ide. Secara fisik, paragraf ditandai oleh huruf pertama yang menjorok ke dalam atau adanya satu baris kosong sesudah kalimat terakhirnya, tapi bukan tanda itu yang menjadi definisinya. Paragraf ditandai oleh adanya kesatuan ide atau kesatuan pikiran yang dibangun secara bersama oleh beberapa kalimat yang saling bersambung dan berkait. Bentuk lahiriah berupa huruf pertama yang menjorok ke dalam pada kalimat pertama atau baris kosong setelah kalimat terakhir hanyalah sebagai pemudah bagi pembaca untuk memisahkan paragraf yang satu dengan yang lain.

Satu paragraf seyogyanya memiliki satu ide saja.Karena satu wacana mengandung sejumlah ide untuk menguraikan satu tema tertentu, maka paragraf sesungguhnya adalah satu unit terkecil dalam wacana tersebut.

Dari sudut inilah terjadi kesalahkaprahan pada orang awam dalam tulis menulis. Mereka menyangka bila beberapa kalimat dibuat mengelompok, dengan menjorokkan huruf pertama kedalam atau dibuat baris kosong pembatas, itulah paragraf. Mereka tidak membayangkan apa sesungguhnya kesatuan ide atau kesatuan pikiran dalam suatu paragraf itu.

Kesulitan membuat paragraf seperti yang dimaksudkan di atas, sebenarnya bukan terletak pada proses pengelompokan kalimat menjadi paragraf yang ditandai dengan bentuk fisiknya itu. Pengelompokan kalimat seperti itu mudah saja dilakukan. Kesulitan membuat paragraf justru terasa ketika kita harus memastikan terbentuknya satu ide dalam kelompok kalimat yang mungkin terdiri dari dua atau bahkan puluhan kalimat dalam satu paragraf. Semua kalimat itu harus dibuat mengarah ke satu ide. Satu kalimat saja tidak boleh menyimpang dari ide paragraf tersebut, apalagi kalau semua kalimat di sana ternyata berdiri sendiri-sendiri dengan idenya masing-masing.

Ini sungguh sulit. Saya telah melatih diri melakukan penyatuan ide-ide semacam ini berkali-kali, namun saya masih menemukan kesalahan itu. Ternyata bukan bagi saya saja, sayapun sering menemukan tulisan di media masa yang paragrafnya tidak menunjukkan kesatuan ide.

Adanya satu ide dalam paragraf adalah syarat pertama suatu paragraf untuk bisa dikatakan baik dan efektif. Jika ada satu kalimat yang sungsang, yang menyimpang idenya dari ide paragraf yang ia bangun, maka keseluruhan paragraf akan terasa timpang. Membacanya seperti mengendarai mobil ketika salah satu bannya kempes.

Untuk mendapatkan kesatuan ide tersebut, ada dua macam konstruksi bangun paragraf yang biasa digunakan. Konstruksi pertama adalah konstruksi ide terfokus dan yang kedua adalah konstruksi ide tersebar.

Paragraf dengan konstruksi ide terfokus adalah bahwa di dalam paragraf itu terdapat satu kalimat yang idenya dipandang sebagai ide paragraf. Kalimat itu disebut kalimat topik. Di kalimat inilah ide paragraf terfokus. Kalimat kalimat lain yang ada di sana hanya berisi ide pengembang yang menjelaskan lebih rinci ide kalimat topik. Apabila demikian, dengan membaca kalimat topiknya saja, kita sudah dapat menangkap ide paragraf itu, dan membaca seluruh kalimatnya tentu akan memperjelas ide paragraf secara keseluruhan.

Konstruksi seperti itu disebut juga konstruksi eksplisit yaitu suatu konstruksi paragraf yang idenya terbaca dengan jelas melalui pembacaan kalimat topik. Risiko akan salah interpretasi dapat dihindari melalui paragraf jenis ini. Karena itu, jenis ini banyak disukai pada karya-karya ilmiah.

Konstruksi paragraf yang kedua adalah konsruksi ide tersebar. Dalam konstruksi ini, semua kalimat seolah-olah setara dan berdiri sendiri. Tidak satupun kalimat yang mengandung ide yang lebih menonjol dari yang lain. Kita hanya akan menangkap ide paragraf itu melalui interaksi kalimat-kalimat secara keseluruhan. Karena itu, tidak membaca satu kalimat saja dalam paragraf ini dapat menyebabkan kesimpulan yang berbeda. Ini berarti bahwa konstruksi seperti ini pasti lebih berisiko untuk disalahfahami.

Konstruksi seperti itu disebut konstruksi implisit, karena diperlukan suatu interpretasi untuk menangkap ide paragraf. Walaupun demikian, kita tidak mungkin menghindari jenis ini. Dalam situasi tertentu seperti ketika kita harus membuat kisah-kisah narasi atau ketika kita harus membuat deskripsi sesuatu, kita tidak mungkin mewakilkan ide paragraf ke satu kalimat saja. Bahkan dalam situasi yang lain, paragraf seperti ini sengaja dibuat untuk memberi peluang agar imajinasi pembaca menjadi lebih hidup. Itulah sebabnya, jenis ini banyak disukai pada karya-karya fiksi atau karya non fiksi bergaya fiksi.

Anda pernah membaca tulisan Goenawan Muhammad, Catatan Pinggir? Tulisannya cendrung berisi paragraf-paragraf konstruksi ide tersebar. Padahal, tulisan itu bukan fiksi melainkan sebuah opini. Beliau sengaja membuat tulisan non fiksi bergaya fiksi. Katanya "biar enak dibaca dan perlu".

Syarat kedua bagi paragraf yang efektif adalah ketuntasan ide. Alangkah teganya seseorang penulis membiarkan pembacanya di awang-awang tanpa ketuntasan informasi yang disampaikan. Suatu paragraf harus mengungkapkan ide secara tuntas. Demi ketuntasan ide itulah, paragraf jarang terdiri dari satu kalimat saja. Selalu saja diperlukan beberapa kalimat, dua, tiga, bahkan puluhan kalimat. Apabila demi mengejar ketuntasan ,tapi kejelasan menjadi berkurang dengan bertambahnya kalimat, pemecahan satu paragraf menjadi beberapa paragraf yang lebih sedikit jumlah kalimatnya harus dilakukan. Demikian juga kejernihan, keruntuttan, dan konsistensi sudut pandang tidak boleh dipandang remeh bila kita ingin mendapatkan suatu paragraf yang "enak dibaca dan perlu".

Akhirnya, suatu paragraf yang efektif adalah paragraf yang padu. Paragraf yang padu artinya paragraf yang kalimat-kalimatnya setali, bagaikan satu paket yang erat yang tak tepisahkan. Kalau kesatuan ide suatu paragraf menghendaki munculnya satu ide saja, kepaduan atau kesetalian paragraf menghendaki terjadinya aliran ide dari kalimat ke kalimat secara halus, tidak tersandung-sandung. Satu kalimat mungkin hanya sebagai sebuah kalimat pengembang untuk sebuah kalimat topik, tapi jika ide dari kalimat topik itu meloncat tajam, paragraf itu akan terbaca terpatah-patah. Idenya tidak mengalir dengan mulus.

Dalam hal hubungan antar paragrafpun demikian. Jika ide satu paragraf meloncat jauh dari ide paragraf sebelumnya, pembaca seperti diajak menompang mobil yang ngebut di jalan yang banyak lobangnya. Demikianlah perumpamaan untuk menjelaskan arti penting sebuah kepaduan paragraf.

Membentuk kepaduan paragraf lebih mudah dibandingkan dengan membangun kesatuan atau ketuntasan ide. Yang diperlukan untuk membangun kepaduan hanyalah upaya untuk memastikan seluruh kalimat terangkai rapi dan gap ide antar kalimat tidak terlalu lebar. Penambahan kalimat transisi untuk mengisi gap seperti meletakkan satu anak tangga penghubung dua lantai yang terlalu tinggi untuk dilangkahi. Rangkaian kalimat yang rapi dapat diupayakan, misalnya dengan membuat kaitan antar kalimat sehingga seluruh kalimat menjadi setali. Mengurangi gap ide antar kalimat juga dapat diupayakan, misalnya dengan menambah satu kalimat transisi sebagai penutup gap tersebut. Dalam paragraf yang padu, semua kalimat harus padat, terangkai, dan tidak ada yang terputus. Kepaduan inilah yang melahirkan aliran pikiran yang tidak tersendat-sendat. Pikiran mengalir dengan halus dari satu kalimat ke kalimat lainnya.

Upaya membangun kepaduan kalimat adalah upaya merangkai kalimat ke kalimat. Kalimat harus kait mengait sehingga tidak ada yang berdiri sendiri. Ada lima teknik membangun kepaduan kalimat dalam paragraf, yaitu:

  1. Penggunaan subjek kalimat yang sama di semua kalimat.
  2. pengulangan kata kunci
  3. penggunaan kata ganti
  4. penggunaan kata tunjuk
  5. penggunaan keterangan perangkai.
  6. Penggunaan struktur sejajar.

Membangun kesetalian dengan penggunaan subjek yang sama adalah membuat semua kalimat dalam paragraf tersebut mempunyai subjek yang sama. Predikat kalimat-kalimat itu saja yang berbeda-beda, sementara subjeknya dibuat berulang. Selain pengulangan subjek itu, kesetalian kalimat dapat dibuat dengan pengulangan kata kunci. Kata kunci dapat di ambil dari kalimat sebelumnya di ruas subjek, predikat ataupun keterangan. Lebih jauh lagi, agar lebih terasa kesetalian kalimat dalam paragra itu, pengulangan subjek atau pengulangan kata kunci di atas, dapat digunakan pula kata ganti (seperi ia, mereka) atau kata penunjuk (seperti itu, ini, tersebut). Keempat teknik ini akan memastikan satu kalimat tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain.

Yang paling banyak dipakai untuk membangun kesetalian kalimat dalam satu paragraf adalah menggunakan keterangan perangkai. Keterangan perangkai adalah unsur tambahan pada satu kalimat yang berfungsi sebagai keterangan. Hanya saja, keterangan perangkai digunakan untuk menunjukkan keterkaitan kalimat tersebut ke kalimat lain. Keterangan perangkai ini biasanya ditempatkan di awal kalimat, dipisahkan dengan tanda koma sebelum subjek kalimat dituliskan. Sebagai satu bagian di dalam kalimat, keterangan perangkai bisa berupa kata, frasa, ataupun klausa.

Beberapa keterangan perangkai yang banyak dipakai adalah: akan tetapi, akhirnya,apabila begitu, apabila demikian, berhubung dengan itu,dengan begitu, dengan cara begitu, dengan cara itu, dengan demikian, dengan kata lain,di samping itu,di pihak lain, jika begitu, jika demikian, juga, kedua, ketika itu, kesimpulannya, lagi pula, maka, meskipun begitu, meskipun demikian, misalnya, namun, oleh karena itu, pada umumnya, pertama, sebab itu, sebagai gambaran, sebagai kesimpulan, sebaliknya, sebenarnya, sehabis itu, sejak itu, sekalipun begitu, selain daripada itu, selain itu, selanjutnya, semenjak itu, sementara itu, sesudah itu, setelah itu, sesungguhnya, sungguhpun begitu, sungguhpun demikian, tambahan lagi, tambahan pula, tetapi, umpamanya, waktu itu, walaupun begitu,dan walaupun demikian.

Akhirnya, kepaduan paragraf dibangun oleh kesejajaran bangun kalimatnya. Semua kalimat dalam satu paragraf selayaknya dibuat dengan bangun yang sejajar untuk setiap unsurnya yang setara. Bila kalimat yang satu menggunakan verba aktif sebagai predikatnya, maka kalimat yang lain sebaiknya menggunakan verba aktif juga aktif. Penggunaan bangun frasa yang serupa untuk mengisi ruas-ruas kalimat akan membantu kesejajaran paragraf. Kesejajaran paragraf ini akhirnya akan mempercantik tampilan paragraf secara keseluruhan disamping menambah kepaduannya dan memberikan cita rasa dan energi yang kuat.

Senin, September 29, 2008

Siapa bilang menulis itu gampang?

Bagi saya, walaupun menulis tak sesulit merancang pesawat Soyuz-19, tapi ia juga tak semudah memasang rantai sepeda buatan Belanda tahun 1920. Akhir-akhir ini, saya sering membaca pernyataan "Menulis itu gampang" dari banyak pihak, padahal dulu, beberapa tahun yang lalu, hanya Arswendo, penulis yang namanya tak asing lagi dalam dunia tulis menulis, yang berani menyatakan itu dalam bukunya Mengarang Itu Gampang. Kini, entah karena sungguhan atau karena latah, berbagai penawaran kursus atau pelatihan menulis , menggunakan trik "menulis itu gampang" untuk memancing pelanggan . Mungkin maksud mereka adalah untuk memotivasi dan memberitahu bahwa mereka punya cara khusus untuk menjadikan menulis itu gampang. Andrias Harefa, salah seorang diantaranya, ikut-ikut mengatakan "Menulis hanyalah keterampilan tingkat sekolah dasar", yang intinya tidak jauh berbeda dari pernyataan Arswendo bahwa menulis itu gampang.

Bagi yang tidak hati-hati, bisa terkecoh dengan kalimat-kalimat semacam itu. Bahkan, sebagian mungkin malah bisa terlena sehingga mereka merasa tidak perlu belajar lagi. Seseorang mungkin akan mengartikan bahwa jika sekarang dia sudah menjadi sarjana, dia tak perlu lagi belajar menulis.

Coba cermati siapa yang membuat pernyataan itu. Andrias Harefa atau Arswendo atau penulis populer lainnya, bukan? Bagi mereka mungkin benar bahwa menulis itu gampang. Mereka telah lama menjadi penulis professional. Mereka sudah punya jam terbang yang lama dalam dunia tulis menulis. Coba sekarang tanya kepada mereka cara membuat pesawat terbang. Apakah mereka berani mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang? Saya yakin mereka tak akan berani mengatakan demikian, karena mereka belum pernah belajar untuk itu.

Maksudnya, bagi mereka menulis itu gampang karena mereka telah sangat terbiasa untuk itu. Hal ini tentu tidak dapat diberlakukan pada semua orang. Untuk hal yang belum mereka biasakan, seperti membuat kapal terbang misalnya, bagi mereka pasti tetap sulit.

Sekarang coba tanya Habibie bagaimana cara membuat kapal terbang. Semua akan terkejut, termasuk Arswendo, ketika beliau menjawab, "Membuat pesawat terbang itu gampang." Sama dengan pernyataan Arswendo, pernyataan Habibie berlaku hanya untuk dirinya sendiri, yang sudah makan asam garam di sana.

Jam terbang dalam suatu bidang menentukan gampang atau tidaknya suatu pekerjaan. Bagi seseorang yang jam terbangnya sudah tinggi, maka tidak ada pekerjaan yang sulit. Semuanya gampang. Tapi bagi yang jam terbangnya sedikit, atau mungkin belum punya sama sekali, suatu pekerjaan akan terasa sulit. Itu wajar dan alamiah, tidak ada yang aneh.

Dulu sebelum saya bisa naik sepeda, berenang, menyetir mobil, mengetik dengan komputer seperti sekarang, semua pekerjaan itu bagi saya sulit. Tapi, karena didorong oleh motivasi bahwa saya harus bisa betapapun sulit, saya sekarang berani mengatakan bahwa bersepeda, berenang, menyetir mobil dan mengetik dengan komputer itu gampang sekali. Jam terbang saya sudah cukup meyakinkan itu gampang. Semakin sulit pekerjaan itu, semakin termotivasi saya mempelajarinya. Kalau dulu saya menggampangkannya, pastilah sampai sekarang saya belum akan menguasai semuanya itu.

Maksud saya, jangan sampai demi memicu seseorang untuk mempelajari sesuatu, kita menggampangkan suatu masalah. Alih-alih memicu semangat belajar, penggampangan malahan akan membuat seseorang menjadi malas belajar. " Ah, gampang kok".

Bagi saya menulis itu sulit. Buktinya, sampai hari ini masih berat rasanya untuk dapat menuliskan ide-ide dalam bentuk rangkaian kalimat. Kalau diucapkan atau bahkan dipidatokan tidak sesusah itu. Tapi, setiap mau dituliskan, ide itu lenyap begitu saja seolah-olah ide-ide itu tidak bersahabat sedikitpun dengan alat tulis saya. Baru saja saya memegang alat tulis, ide-ide yang tadinya banyak itu beterbangan tanpa ada sisa. Saya akhirnya hanya mampu membuat tulisan sepanjang beberapa kalimat atau paragraf yang pendek, setelah itu behenti.

Saya tidak sendirian. Saya mengenal orang-orang berpendidikan tinggi sampai ke tingkat doktor bahkan professor. Mereka tidak menulis setiap harinya, Satu-satunya karya mereka adalah berupa skripsi, tesis, atau disertasi yang mereka ajukan sewaktu memperoleh gelar akademis itu. Selepas itu, mereka tidak menulis lagi. Apakah orang-orang ini pantas dikatakan tak punya bahan untuk ditulis?

Padahal, banyak di antara mereka adalah tenaga-tenaga professional di berbagai bidang. Tenaga professional yang menerjunkan dirinya berpuluh-puluh tahun menangani sesuatu. Ada guru, dosen, insinyur, manajer, pebisnis, pendakwah, dll. Tak mungkin rasanya kalau dikatakan mereka tak punya cukup bahan untuk ditulis. Padahal untuk menulis fiksi, misalnya, yang diperlukan hanya sekedar imajinasi. Tak mungkin orang-orang ini tidak punya imajinasi. Saya yakin mereka memiliki ilmu dan pengalaman segudang untuk ditulis. Tapi, mengapa mereka belum bisa menuliskannya?

Kurang motivasi? Belum tentu. Beberapa di antara mereka sering mengatakan bahwa mereka ingin menulis. Mereka juga mengatakan iri dengan orang-orang yang pandai menulis.

Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan di atas hanya satu. Mereka belum pandai menulis. Mereka bukan tak ingin menulis. Mereka tidak bisa merangkai kalimat, mengubah apa yang ada dalam pikiran dan perasaan menjadi tulisan. Setiap mereka mencoba merangkainya, pikiran dan perasaan tadi menghilang dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja mereka tak punya kata -kata. Mereka diam seribu bahasa. Tapi, kalau disuruh menjelaskannya secara lisan, ide-ide itu bermunculan kembali.

Jadi, yang mereka belum kuasasi adalah menaklukkan jari untuk menulis, bukan menaklukkan lidah. Barangkali, jari mereka banyak tulangnya, sementara lidah sungguh tak bertulang.

Sebenarnya ketidakbisaan menulis itu tidak aneh. Seseorang pada dasarnya dilahirkan di bumi tanpa bisa apa-apa. Proses belajarlah yang membuat seseorang menjadi bisa kepada sesuatu. Jika orang-orang itu belum bisa menulis, karena memang mereka belum mempelajarinya. Kalau sebagian mereka sudah pernah mempelajarinya, mereka mungkin belum mebiasakan diri mengamalkannya. Sementara, menulis itu memerlukan pembiasaan. Jadi, wajar kalau mereka tidak bisa menulis.

Hanya saja ada orang-orang tertentu yang tetap berpegang dengan pernyataan bahwa menulis itu gampang. Menulis adalah keterampilan tingkat SD. "Saya sudah lama tamat SD". Mereka menggampangkan masalah. Akhirnya mereka merasa tak perlu belajar menulis lagi. Hari demi hari mereka hanya menunggu datangnya ide untuk ditulis. Merekapun tak menghasilkan apa-apa. Kalau waktu memperoleh gelar akademis, mereka berhasil menyelesaikan karya tulis mereka, mungkin karena waktu itu ada faktor pemaksa yang membuat mereka tak bisa lari.

Saya sendiri punya pandangan lain dalam hal ini. Karena adanya kesadaran bahwa menulis itu sulit, atau tidak gampang, maka saya masih memiliki motivasi untuk belajar menulis. Saya tidak peduli apakah menulis itu keterampilan tingkat SD atau tingkat universitas. Saya hanya tahu bahwa saya belum bisa menulis. Saya baru bisa bicara, dan kalau menulis, aduh minta ampun.

Jumat, September 05, 2008

Sedikit tentang istilah Sastra

Sastra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan dengan beberapa kata kunci, yaitu: huruf, kata, tulisan, kitab, pustaka, dan gaya bahasa. Dari kelima kata kunci tersebut, dapat kita pahami bahwa sastra pada intinya adalah karya tulis. Dari definisi tersebut, karya tulis yang paling sederhana adalah satu huruf. Ketika beberapa huruf disusun, jadilah satu kata. Selanjutnya, jika beberapa kata disusun, jadilah satu tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran, perasaan, atau informasi yang utuh. Lebih jauh lagi, kumpulan dari tulisan disebut kitab atau buku, dan kumpulan buku disebut pustaka.

Tulisan seperti yang dimaksudkan di atas bervariasi panjangnya tergantung dari panjangnya informasi atau gagasan yang akan disampaikan melalui tulisan itu. Tulisan yang paling pendek adalah tulisan berupa satu kalimat, karena dalam satu kalimatlah satu pikiran dapat dipahami dengan jelas, sementara satu kata dipandang belum cukup karena kata baru mewakili suatu makna. Dalam realitasnya, tulisan biasanya mengandung lebih dari satu kalimat, bahkan mengandung ribuan atau jutaan kalimat sesuai dengan luas dan rumitnya informasi atau pikiran yang disampaikan.

Agar tulisan yang terdiri dari banyak kalimat itu bisa dipahami dengan baik sesuai dengan maksud si penulis, maka kalimat-kalimat itu dikelompokkan di setiap satu unit pikiran yang disebut paragraf. Kemudian, paragraf disusun sedemikian rupa dalam satu alur berpikir yang logis dan runtut. Jadi jelas bahwa satu kalimat hanya mengandung satu pikiran, sedangkan satu paragraf hanya mengandung satu kelompok pikiran ( satu gagasan). Gagasan demi gagasan akan sambung menyambung membangun gagasan yang lebih luas dan komplek yang dinamakan wacana.

Demikianlah kita dapat melihat keterkaitan antara sebagian istilah-istilah yang selalu kita pakai dalam dunia tulis menulis, yang semuanya itu berada dalam satu paket yang dinamakan sastra. Memasuki dunia sastra itu berarti memasuki dunia tulis menulis. Mau tidak mau seorang peminat sastra mestilah akrab dengan semua istilah yang disebutkan tadi.

Adalah suatu kekeliruan berpikir jika ada yang membatasi sastra hanya pada cerpen, novel, atau puisi saja. Ketiganya memang termasuk sastra karena ketiganya itu merupakan hasil kegiatan tulis menulis. Tapi, sastra bukan hanya sebatas novel, cerpen atau puisi saja. Sesuai dengan makna istilah sastra yang kita bicarakan panjang lebar di atas, semua bentuk karya tulis, baik berupa prosa, puisi, essai, makalah, artikel, tesis, disertasi, surat, sajak, kata mutiara, kontrak, undang-undang, daftar riwayat hidup, dll adalah sastra. Media apapun yang dipakai untuk tempat menuliskannya, seperti kertas, batu,kayu, kain, tembok, CD,disket, flash disk, karya tulis itu termasuk sastra. Demikian juga, dalam format apapun ia ditulis, seperti lembaran, makalah, buku, tabloid, majalah, suatu karya tulis tetap disebut sastra.

Sekedar informasi, sastra tertua didalam peradaban manusia ditemukan tahun 5000 SM dalam bentuk batu bertulis, berupa kalimat yang disusun menggunakan huruf dan tatabahasa yang berlaku waktu itu.

Sekarang timbul pertanyaan. Kalau manusia bisa berkomunikasi dengan lisan, bahkan dengan isyarat, mengapa suatu pikiran atau perasaan itu harus dutuliskan? Dengan kata lain, mengapa harus ada sastra di dunia ini? Tak cukupkah, manusia hidup tanpa sastra?

Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa orang menuangkan ide berupa pikiran atau perasaannya dalam wujud tulisan. Kedua alasan itu kita pandang sebagai alasan mengapa sastra harus ada. Pertama, ide ditulis agar ide itu tidak hilang dimakan waktu. Manusia tahu, betapapun ide itu berasal dari otak, tapi otak itu tak mampu mengingat semua ide dalam jangka waktu yang lama. Terbukti, kalau suatu ide tidak segera dituliskan, dalam beberapa hari, ide itu akan sirna. Inilah alasan pertama sastra diciptakan.

Alasan kedua adalah agar ide itu dapat disampaikan ke pihak lain tanpa keduanya harus bertemu. Cara ini memungkinkan seseorang menyampaikan pesan kepada pihak lain melintasi gunung, gurun dan laut. Bahkan, cara ini memungkinkan manusia mewariskan nilai-nilai tertentu dari generasi ke generasi. Kita bisa lihat di sini, bahwa sastra merupakan darahnya peradaban manusia, karena melalui sastra, manusia membangun ilmu dan budayanya.

Ini berarti, banyak hal yang nantinya akan kait mengait dengan sastra. Mengikut kepada pengertian yang telah diuraikan, segala sesuatu yang terkait dengan sastra itu didefinisikan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kesastraan. Kesastraan, di sini, berarti meliputi ilmu sastra, sejarah sastra, sastrawan, aliran-aliran sastra, dll. Intinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan tulisan dan tulis menulis, merupakan kesastraan.

Bagaimana dengan sejarah? Apakah kajian sejarah adalah bagian dari kesastraan juga?

Yang jelas, sejarah memang memanfaatkan sastra tua, disamping benda-benda purbakala lainnya, dari suatu masa tertentu untuk menguak data berbagai peristiwa di masa itu . Sastra dijadikan bukti sejarah utama. Suatu masyarakat yang tidak meninggalkan dokumen tertulis sulit diungkap sejarahnya. Karena itu, sebagian besar pekerjaan para sejarawan adalah memeriksa dokumen-dokumen tertulis masa lalu dan menganalisisnya untuk membuat suatu interpretasi atau kesimpulan. Dengan demikian, berarti kajian sejarah termasuk dalam cakupan kesastraan juga. Jadi tidak aneh, kalau dii perguruan tinggi, jurusan sejarah biasanya memang dimasukkan ke dalam fakultas sastra.

Sekarang kita lihat satu masalah lagi yang ada kaitannya dengan istilah sastra. Istilah sastra dan kesusateraan sering dicampuradukkan dalam penggunaannya sehari-hari. Seolah-olah, sastra dan kesusateraan itu berpasangan. Padahal, keduanya sesuatu yang berbeda, dan sama sekali tidak berpasangan.

Kesusastraan berasal dari kata susastra, bukan dari kata sastra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, susastra adalah sastra yang isi dan bentuknya sangat serius berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian disusun dengan bahasa yang indah. Ini berarti bahwa susastra adalah sebagian dari sastra.

Menurut definisi di atas, susastra bermakna lebih sempit daripada sastra. Sastra tidak membatasi karya tulis dari segi bentuk, macam, dan bahasa yang digunakan dalam penyusunannya, sedangkan susastera membatasi cakupan pada karya-karya tulis dengan bahasa yang indah untuk mengungkapkan perasaan dan jiwa manusia yang memfokuskan pada estetika dan seni. Ini berarti, karya fiksi seperti puisi, cerpen, dan novel adalah susastra karena karya tulis itu mengekplorasi bagian terdalam jiwa manusia berupa persepsi, imajinasi, emosi, dll yang dikomunikasikan dengan maksud menyentuh jiwa pembacanya juga. Sementara tesis dan disertasi adalah sastra biasa, karena ia merupakan karya tulis umumnya.

Sejalan dengan pasangan istilah sastra dan kesastraan, segala yang berkaitan dengan susastra dinamakan kesusastraan. Lengkaplah temuan kita pasangan pengertian-pengertian yang sering dicampuradukan dalam pembicaraan sehari-hari. Pasangan sastra adalah kesastraan, sementara pasangan susastra adalah kesusastraan.

Lebih jauh dari sekedar pendefinisian seperti di atas, betapapun sastra dan kesastraan merupakan satu disiplin yang mandiri, ia tidak bisa terlepas dari kajian lain, walaupun kajian lain tersebut merupakan satu disiplin tersendiri. Misalnya, kajian sastra tidak bisa lepas dari kajian bahasa, karena dari kajian bahasalah kita tahu apa makna suatu kata, dan bagaimana aturan ketatabahasaan dalam menyusun kata-kata tersebut menjadi susunan yang lebih besar (frasa, klausa, kalimat, dan paragraf).

Sastra tidak bisa lepas dari kajian seni, khususnya seni retorika, karena pesan yang disampaikan oleh suatu tulisan harus sampai kepada pembacanya, bukan saja secara efektif tapi juga harus berkesan dan menimbulkan efek psikologis.

Bidang kehidupan lain seperti ekonomi, pendidikan, hiburan, keteknikan, politik dll tidak mungkin terlepas dari sastra dan kesastraan. Setiap bidang kajian itu biasanya memiliki konvensi tertentu terhadap suatu naskah tertulis yang diberlakukan dalam lingkungan masing-masing. Mau tak mau, sastra pun harus menyeruak masuk ke dalam berbagai bidang kehidupan tersebut.

Dalam menghasilkan karya-karya sastra, setiap sastrawan memiliki cara sendiri-sendiri dalam memilih dan menyusun kata sehingga menjadi suatu tulisan yang dapat dipahami si pembaca. Kemampuan yang dimiliki oleh orang perorangan sastrawan merupakan hasil proses pembiasaan menulis yang dilakukannya sesuai keadaannya masing-masing. Apa yang ditulisnya dan bagaiman sistematika penyusunannya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, agama, keyakinan, dan budaya si sastrawan itu sendiri. Inilah yang menimbulkan adanya macam-macam gaya, ragam, dan aliran dalam sastra. Semua gaya, ragam, dan aliran itu identik dengan sastrawan. Kiranya suatu yang aneh, jika kita mengkaji gaya, ragam dan aliran suatu sastra tanpa mengakaji kehidupan pribadi dan sosial dari sastrawannya.

Terakhir, kemampuan seorang sastrawan menghasilkan sastra yang baik dan bermutu merupakan proses pelatihan yang berkesinambungan.

Kemampuan seorang sastrawan memilih dan merangkai kata menghasilkan suatu tulisan yang jernih berkembang terus menerus sesuai dengan waktu sebagai hasil pembiasaannya. Pengetahuan tentang kata dan tatabahasa tidak menjadi jaminan untuk berhasilnya seseorang menghasilkan kalimat yang jernih. Masih diperlukan pelatihan yang terus menerus menuangkan berbagai pikiran ke dalam bentuk tulisan sehingga menulis menjadi mudah. Tapi, bagi yang belum terlatih dan memiliki kosa kata yang sedikit, mengungkapkan pikiran, perasaan, dan bahkan emosinya secara tertulis terasa sulit.

Pembiasan menulis berarti juga merupakan pembiasan berpikir jernih, terstruktur, dan runtut. Tulisan yang jernih dihasilkan oleh pikiran yang jernih, sebaliknya tulisan yang kacau dan rancu dihasilkan oleh pikiran yang kacau dan rancu. Berubahnya dari kacau ke jernih, merupakan hasil proses pembiasaan dan pelatihan. Pada awal pembiasaan menulis, seseorang mungkin akan banyak menemukan kalimat-kalimat yang kacau dan rancu dalam tulisannya, tapi lama-kelamaan, ia akan melihat kalimat-kalimat itu semakin jernih dan terstruktur sejalan dengan semakin jernih dan terstrukturnya pikirannya.


Selasa, September 02, 2008

Batu Bertulis

Mengapa blog ini saya beri nama Batu Bertulis?

Batu bertulis adalah dokumen tertua dalam sejarah manusia dalam berkomunikasi melalui tulisan. Walaupun mungkin satu dua kata, tulisan di batu bertulis itu berisi jutaan makna dan pesan. Tulisan itu telah melahirkan tak terbilang interpretasi di saat ini.

Dulu, batu itu ditulisi mungkin hanya sebagai catatan para ilmuawan atau bangsawan saja, biar apa yang terpikirkan dan terasakan oleh mereka pada saat itu dapat dimanfaatkan di hari-hari mendatang ketika otak tak sanggup lagi menghapalnya. Mungkin juga, batu itu ditulisi dengan maksud untuk membawa pesan, baik kepada kawan maupun lawan. Terbukti kini, tulisan-tulisan di batu bertulis itu, terbukti mampu untuk mengusung persaudaraan, melerai perselisihan, dan bahkan mampu untuk melumpuhkan perlawanan.

Budaya menulis kata di atas media apa saja belum selesai sampai hari ini. Bahkan budaya itu makin menjadi-jadi. Mungkin budaya ini tak akan pernah habis, karena terkait kepada eksistensi manusia itu sendiri. Saya tak tahu, kapan kita akan berhenti menulis kata, dan saya juga tak tahu apakah menulis kata dapat digantikan pada suatu ketika oleh melukis, menyanyi, atau menari.

Lihatlah, hari ini kita menulis dimana saja, bukan saja di batu seperti dulu, tapi kini di kertas, di baju, bahkan di paha atau bahu sendiri. Pernah melihat tulisan di cangkir, di piring, di tembok pagar, dan di dinding kakus? Itu semua menunjukkan kepada kita bahwa tak ada satu mediapun yang tak tergunakan untuk merekam pikiran dan perasaan manusia, atau sekedar untuk menyampaikan pesan, ingatan, dan pujian kepada orang lain. Apapun motifnya, semua media telah dimanfaatkan.

Panjang tulisanpun kini bermacam ragam, mulai dari satu huruf, misalnya huruf "g" yang dikirim melalui sms untuk mengatakan "tidak", sampai dengan puluhan kitab yang dijilid setebal bantal. Di alam digital sekarang ini lebih-lebih lagi, ternyata manusia menulis lebih rakus, baik sebagai catatan untuk diri sendiri maupun sebagai pesan untuk orang lain. Semua itu disebabkan oleh telah ditemukannya media yang memampukan manusia menenteng milyaran kata dan mengepitkan di kancing baju (maksudnya di simpan di fash disk). Tak ada batasan lagi. Tapi saya ragu, untuk apa semuanya itu.

Betapapun budaya dan teknologi tulis menulis telah berkembang begitu maju, saya tetap sangsi, apakah kata-kata bisa memprosakan segala-gala yang ada dalam sepak terjang manusia. Betapapun kata-kata memiliki kemampuan luar biasa mengungkap pikiran dan perasaan, namun kata tetap terbatas pada runag dan waktu. Mampukah kata merekam semua yang ada dalam pikiran manusia, baik fiksi maupun fakta? Mampukah kata mengungkit perasaan manusia kini, apalagi yang lama? Saya tak tahu, atau lebih tepatnya, saya ragu.

Saya tertarik dengan dunia tulis menulis, dunia sastra, gerbang dunia untuk untuk suatu perubahan. Saya juga tertarik dengan para pujangga, yang sangat mahir memintal kata. Bagaimana dengan anda? Pujangga, sastrawan, penulis ataupun nama lainnya tak mungkin terlepaskan dengan tulisan-tulisan itu sendiri. Tanpa mereka, tulisan-tulisan itu tak akan ada di dunia. Ribuan pujangga telah lahir ke dunia, datang dan pergi seirama dengan silih bergantinya zaman, dan meninggalkan karya untuk kita baca di hari ini. Ada pujangga melankolis yang bemain kata hanya untuk tema cinta, syahwat, dan nafsu keparat. Ada pujangga yang meracik kalimat untuk merekam temuan mereka dalam bidang sains dan teknologi. Ada pujangga yang bersih hatinya, jujur tulisannya, yang menginginkan dunia hari ini menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan sudah pasti, ada pujangga yang suka memaki carut marut dunia, menyebar fitnah dan dusta kemana-mana, menulis apa saja tak peduli apa reaksi orang padanya. Pokoknya, ada semua.

Inilah latar belakang saya melahirkan sebuah blog yang khusus menampung ide, gagasan, dan unek-unek tentang kata, sastra, dan punjangga . Di blog ini, saya berharap kita akan menggali dan memperbincangkan hakikat kata, mulai dari maknanya secara sendiri-sendiri sampai dengan beragam pesan yang bisa dikandungnya setelah kata itu berada dalam susunan berupa frasa, klausa, kalimat, alinea, sampai wacana. Kita akan memperkatakan gaya dan ragam penuturannya. Retorika? Ya, tentu saja. Jangan lupa, kita akan ungkit pula sejarahnya sejak zaman purbakala, dan kita akan gunjingkan misterinya sampai nanti, saat manusia tak sanggup berkata-kata lagi.

Yang terakhir, ini rahasia kita berdua. Jangan bilang siapa-siapa. Di blog ini, kita juga akan membicarakan , apakah sastra, tulis menulis, atau apa saja istilahnya, dapat mendatangkan sedikit tambahan rizki untuk membeli kertas dan pena. Kalau perlu, kita bicarakan juga kemungkinannya untuk membeli mobil atau pesawat terbang. Bukan untuk bermewah-mewah, tapi agar kita bisa keliling dunia mencari inspirasi bahan tulisan kita itu sendiri . Ah, capek deh! Yang terpenting agar dengan kajian kata, sastra, dan punjangga, kita bisa memberi guna dan manfaat untuk bekalan dunia dan di akhirat. Wallahu a'lam!