Jumat, November 20, 2009

Menulis hanya perlu pembiasaan

Setelah ditanamkan minda pertama bahwa menulis itu ibadah, minda kedua ialah bahwa menulis itu mudah. Sulitnya menulis hanya terjadi di minggu-minggu pertama kita memulai proses pembiasaan, seperti canggungnya penganten baru. Ini diakui oleh sebagian penulis-penulis berkaliber nasional dan internasional.

 Bambang Trim mengatakan bahwa menulis gampang-gampang susah. Artinya, gampangnya dua kali, susahnya sekali. Kesusahan itu akan hilang dengan sendirinya setelah proses pembiasaan berketerusan dengan berlatih setiap hari. Ersis Warmansyah Abbas mengumpamakan menulis dengan menyetir mobil.Waktu belajar, tubruk sana tubruk sini. Andrias Harefa mengumpamakan menulis seperti naik sepeda, awal-awalnya masih susah mencari titik keseimbangan. Edy Zaqeus mengumpamakan belajar menulis seperti jadi penganten.Grogi. Begitulah para penulis produktif itu menggambarkan bagaimana mudah atau susahnya menulis. Itu pengalaman ril mereka.

 Bagaimana dengan pengalaman anda? Mari berbagi.

 Ada teori yang mengatakan semua kita terlahir sebagai jenius. Mungkin benar mungkin tidak. Tetapi menulis tidak memerlukan kejeniusan itu. Kalaupun kita ditakdirkan jenius, kejeniusan itu mungkin diperlukan untuk yang lain, tapi bukan untuk menulis. Orang yang IQ nya pas-pasan seperti saya saja, bisa menulis he he he.

 Saya sudah ujicobakan teori ini kepada anak saya yang baru duduk di kelas 4 SD, menjelang naik ke kelas V. alhamdulillah berhasil. Begitu mudahnya menulis, anak itu sudah menulis satu artikel dalam beberapa jam saja. Kini sudah lahir puluhan artikel di tangannya.

 Anak kelas 4 SD sudah bisa menulis? Ya, karena keterampilan menulis itu adalah keterampilan sekolah dasar. Walaupun ia masih menulis cerita fiksi, alias khayalan, tidak apa, sebagai pemula. Sekarang dia sudah mulai menulis non fiksi juga, lengkap dengan referensi-referensinya, wow. Saya sekarang sedang melatih anak saya yang baru sekolah di taman kanak-kanak, Tadika Global Ikhwan, untuk menulis. Kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata sudah bisa dirangkainya, walaupun masih lambat tertatih-tatih. Jangan-jangan keterampilan menulis bukan lagi keterampilan tingkat SD tapi malah TK.

 Tentu saja Anda tidak boleh bandingkan tulisan anak saya itu dengan buku "Menjadi Manusia Pembelajar"nya Andrias Harefa atau novel "Laskar Pelangi" nya Andrea Hirata. Jelas, itu perbandingan yang tidak berimbnag. Saya hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa menulis itu ternyata sangat mudah. Anak kecil saja bisa, yang tua pasti lebih bisa. Itu maksudnya.

 Menulis kan pada dasarnya hanya menyalin apa yang sedang anda pikirkan dan rasakan ke dalam simbol berupa huruf-huruf, membentuk kata yang bersusun menjadi kalimat untuk dipahami yang membaca. Sebaliknya, membaca adalah memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penulis menggunakan simbol yang sama. Dengan kombinasi menulis dan membaca maka terjadilah pertukaran pikiran dan perasaan dari orang ke orang. Waduh, memahami penjelasn ini saja, malah lebih sulit daripada menulis itu sendiri.

 Anda bisa membaca, bukan? Kalau bisa, berarti Anda telah mengetahui simbol-simbol berupa kata. Menulis adalah kebalikan membaca. Kalau begitu, alangkah mudahnya menulis itu karena kita hanya mengubah pikiran menjadi kata. Apa yang kita tulis adalah apa yang ada di dalam pikiran kita. Pikiran itu sendiri muncul setiap detik dalam kehidupan kita dalam jumlah yang berlimpah ruah dari detik ke detik, lebih cepat dari tarikan nafas.

 Anda setiap hari berbicara, bukan? Berbicara sama dengan menulis. Bedanya, simbol yang dipakai dalam berbicara adalah simbol lisan, berupa ucapan dan intonasi. Sementara dalam tulisan, kita menggunakan susunan kata dan tanda baca. Kalau Anda bisa bicara berjam-jam, begunjing, "ngrumpi", apalagi berceramah, mengajar, atau memberi kuliah, Anda pasti bisa menulis berjam-jam.

 Kalau sedang sendirian di mobil atau di kamar mandi, Anda sering berbicara sendiri. Apalagi sedang jengkel dengan orang lain, dengan istri, suami atau mertua, kita sering menggerutu sendiri, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebenarnya Anda sedang menulis satu artikel, cuma di awang-awang. Ini semua pertanda Anda bisa menulis di kertas. Tinggal ambil alat tulis, beres.

 Kuncinya sederhana sekali rupanya. Ambillah alat tulis, kertas dan pena atau komputer. Tulislah dulu satu kalimat, satu saja, kemudian berhenti. Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya, berhenti lagi. Lanjutkan menulis kalimat yang ketiganya dan seterusnya. Anda akan merasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan terus mengalir. Anda akan merasakan aliran pikiran begitu deras, berbaris-baris seperti serdadu, melompat keluar satu persatu, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Wow.

 Anda akan mengalami juga suatu waktu ketika alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Ketika itu aliran pikiran bahkan melebihi kecepatan tangan menulis. Bahkan sebagian penulis mengkau bisa lupa waktu, lupa istri, lupa suami. Ya, salah juga. Janganlah sampai sebegitunya. Semua penulis besar yang sudah menulis puluhan buku mengakui adanya keadaan ini, dan mereka punya istilah masing-masing yang lucu-lucu untuk menyebutkan keadaan ini. Ada yang menyebutnya dengan istilah "writing trances", "orgasmic writing", atau "writing on fly". Tidak ada yang ajaib. Tuhan telah buatkan untuk kita semua kemudahan itu. Bersyukurlah.

 Macet? Ya tidak apa-apa, tinggal berhenti sejenak. Nanti akan ada celahnya Anda untuk jalan kembali. Lha jalan di Jakarta saja tiap hari macet. "Itu saja kok repot?" kata Gus Dur. Tidak ada macet yang permanen. Menulis mari menulis. Menulis itu sangat mudah.

 Anda punya pandangan lain? Ayo, mari berbagi.

 Wallahu a'lam.

Ai, ternyata menulis itu memang sangat mudah. He he he.

Tulislah dulu satu kalimat, satu saja. Kalimat pendek boleh. Anda akan tahu bahwa menulis itu ternyata memang mudah . Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya. Anda akan rasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan menuntun Anda menulis kalimat yang ketiganya. Ikutilah tuntutan itu. Dengarkan suara hati. Ubahlah suara itu menjadi kalimat-kalimat berikutnya, sampai ia beriring-iringan seperti gerbong kereta api.

Setelah itu, Anda akan mulai merasakan aliran pikiran yang berbaris seperti serdadu Nazi, melompat keluar satu persatu karena takut dibunuh, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Kini alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Otak menggelinjang. Botol pikiran itu kini telah seperti kehilangan sumbatnya. Mengalir dan mengalir.

Ai, ternyata, saya baru tahu menulis itu memang mudah, bahkan sangat mudah. Lihat, saya sudah selesaikan dua paragraf. Ajaib, bukan?

Saya ada cerita lama yang sedikit memalukan. Geli rasanya kalau diingat-ingat kembali. Suatu ketika dulu, tahun 80-an, saya bertemu satu buku yang ditulis oleh seorang penulis novel sohor Arswendo Atmowiloto yang berjudul, "Mengarang itu Gampang." Anda pernah baca buku itu? Terus terang, saya marah dan tersinggung.

Saya jawab, "Ah, siapa bilang mengarang itu gampang?" Kalaulah mengarang atau menulis itu gampang, tidaklah saya harus bersusah payah mencari tempat fotokopi yang murah sepanjang Gang Pelesiran di Bandung untuk mengopi "text book" asing, berbahasa asing, ditulis oleh orang asing, yang dipakai dalam kuliah, yang harga buku aslinya membuat kepala pening. Kalau menulis itu mudah, dosen-dosen itu pasti telah menuliskan kuliahnya dalam diktat-diktat yang pasti harganya terjangkau. Mengapa pula harus pakai buku tulisan orang lain? Bukankah di kampus sehebat ini, banyak pakar, bertaraf internasional, jebolan sekolah-sekolah antar bangsa? Tapi, buktinya tidak. Buku-buku agamapun pada waktu itu hampir seluruhnya karya terjemahan. Waktu itu kami banyak membaca buku2 tulisan ulama Mesir, Pakistan, dan Iran.

Saya punya bukti lain bahwa mengarang atau menulis tidak gampang. Tahukah Anda bahwa pernah juga dulu saya paksakan menulis dan mengirimkannya ke salah satu bulletin di kampus. Bulletin yang sama sekali tidak terkenal. Eh, tulisan itu ditolak mentah-mentah. Sang redaktur mengirimkan naskahnya kembali ke alamat saya, penuh dengan coretan dengan menyelipkan sebuah note, "Tulisan ini bagus, tapi maaf tidak bisa kami muat."

Apa salahnya, coba. Topiknya seingat saya tentang jin. Menarik bukan? Membicarakan jin waktu itu lebih menarik daripada membicarakan manusia. Tapi, mengapa tidak bisa dimuat?

Saya menuduh Arswendo Atmowiloto telah membuat lelucon besar. Dia meremehkan pekerjaan menulis seolah-olah setiap orang bisa melakukannya. "Gampang, gampang, tulislah!" Buktinya? Bukan saya saja, saya melihat ribuan intelektual, sarjana, dosen, mahasiswa, insinyur, dokter, ustaz, kiyai, manajer, bergelimpangan tidak bisa menulis. Inikah yang disebut "gampang" itu?

"Oh, mereka mungkin tidak punya bahan." Tak punya bahankah seorang professor?

"Oh, mungkin tak punya waktu." Selama 40, 50, bahkan 60 tahun? Tak bisa kah menyisihkan waktu untuk beberapa hari untuk sebuah buku atau beberapa jam untuk sebuah artikel?

Waktu itu, saya yakin hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menulis. Yang lain hanya berhak untuk membaca. Logikanya nampak seperti itu, harus lebih banyak pembaca dari penulis. Lha, kalau semua orang menulis, siapa lagi yang membacanya?. Orang yang sudah biasa menulis, kebetulan diberi rezki kemampuan menulis, seperti Arswendo tentu akan mengatakan menulis itu gampang. Pak Habibi juga akan mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang. Kalau begitu apakah semua orang bisa membuat pesawat terbang seperti Pak Habibi?

Begitu sulitnya menuangkan pikiran ke dalam tulisan itu, sampai-sampai saya pikir saya ditakdirkan hanya untuk membaca bukan untuk menulis. Menulis saya anggap keterampilan luar biasa yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang IQ nya jauh di atas saya. Orang yang IQ nya sekelas saya, terimalah nasib untuk menjadi pembaca saja seumur hidup, jangan bermimpi jadi penulis. "Menulis tak kalah sulitnya dari merancang pesawat ruang angkasa, biar pakarnya saja" pikir saya.

Akhirnya untunglah saya bertemu juga dengan orang-orang pilihan, penulis-penulis yang senang berbagi ilmu. Mereka menempeleng "mental block" yang sangat memalukan itu. Mereka membantu mencabik-cabik "frame" berpikir saya, dan membantu melepaskan kaca mata kuda yang saya pasang sendiri untuk mengekang potensi yang sudah Tuhan anugerahkan pada saya. Saya anggap mereka orang-orang yang baik hati. Tuhanlah yang mengirim mereka pada saya. Alhamdulillah.

Menulis itu ternyata mudah. Bahkan sangat mudah. Sekarang saya ingin minta maaf kepada Arswendo karena sudah berprasangka buruk. "Mas, mengarang itu ternyata memang gampang, bahkan sangat gampang" Hua ha ha ha. Begitu gampangnya, sehingga tidak diperlukan kursus mengarang. Hua ha ha ha.

Kalaupun masih terasa sulit dalam menulis, itu hanya akibat kegamangan seperti gamangnya penganten baru menaiki ranjang pengaten di minggu-minggu pertama. Para penulis senior mengatakan bahwa sulitnya menulis seperti sulitnya belajar menyetir mobil pertama kali, tubruk sana tubruk sini. Keringat bercucuran, tapi menyenangkan. Kalau sudah sehati, menyetir mobil itu bisa sambil ngobrol, makan kacang atau chatting di HP.

Aduh maaf, jadi terlalu panjang nnarasinya.

Bagaimanapun juga, kursus atau workshop untuk membangkitkan motivasi dan memantapkan teknik-teknik khusus dalam kepenulisan, seperti teknik narasi, argumentasi, eksposisi, sastrawi, dll, sah-sah saja diikuti. Biayanya toh tidak seberapa dibanding dengan manfaatnya.

Anda berani menerima tantangan? Let's go...

Wallahu a'lam.

Menulislah dengan nama Allah karena menulis itu ibadah

Kaidah pertama Q'Writing adalah meletakkan "mindset" atau minda di hati bahwa menulis itu ibadah kepada Allah SWT. Menulis merupakan perintah Allah kepada hamba-hambaNya. Karena itu, menulis harus dilaksanakan karenaNya, untukNya, dan di atas jalanNya. Inilah yang dimaksukan dengan menulis adalah ibadah. Sebelum otak dijejali dengan seperangkat teori, teori ini dulu.

 Tidak terbayang betapa indahnya menulis, menghentak-hentakkan jari dengan lembut di atas keyboard atau menggoreskan pena di kertas, menuliskan pikiran dan perasaaan sementara hati penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan? Apalagi kalau kita menulis selepas shalat dan wirid. Proses itu tidak hanya dapat menumbuhkan rasa bertuhan yang semakin dalam di hati yang menulis, tapi juga dapat memberikan keinsafan kepada yang membaca. Dan alangkah sia-sianya apa yang kita tulis, namun hati dipenuhi dengan hasrat duniawi, kepentingan emosional dan kebendaan. Menulis seperti itu pasti sangat menjemukan.

 Menulis yang paling indah adalah menulis sambil mendengarkan dendang hari nurani.Tidak hanya mengadalkan pandangan akal pikiran, tetapi mendengarkan bisikan hati nurani. Korek-koreklah sedikit celah-celah hati itu dan dengarkan kumandang suara Tuhan melaluinya. Kenang-kenangkan Tuhan. Kenang-kenangkan kemahapengawasannya, bahwa dia terus menerus mengawasi kita, melihat, mendengar, dan terus menerus berbicara dengan kita. Dengarkanlah baik-baik petunjuk-petunjukNYa. Perhatikan peringatan-peringatanNya. Jangan terlalu percaya dengan bisikan nafsu walau terasa sangat memberi harapan. Visualisasi nafsu di depan mata kita adalah tipu daya seperti fatamorgana.

 Mulailah menulis dengan menyebut namaNya, Ingat-ingatlah Dia selalu selama menulis, Ketika sampai waktu untuk menghadapNya, berhentilah menulis, tunaikanlah terlebih dulu kewajiban-kewajiban kepadaNya. Setelah itu, lanjutkanlah menulis kembali. Tak usah gopoh. Akhirilah tulisan Anda dengan memasrahkan kembali hasilnya kepadaNya, dengan rasa cemas, rasa was-was kalau-kalau Allah tak redha. Minta ampunlah kepadaNYa.

 Pikiran dan perasaan yang tertuang dalam tulisan Anda akan menjadi tulisan yang memiliki ruh, daya ledak yang dahsyat, bukan tulisan yang ompong, kosong. Tulisan-tulisan itu, betapapun sederhana, singkat, padat akan menjadi asas pembangunan peradaban manusia. Manusia bisa terhibur dan terobati dengannya.Tulisan ini akan menghiasi sejarah, sepanjang zaman. Betapapun jasad kita sudah terkubur, tulisan-tulisan itulah yang akan menggantikan keberadaan kita di dunia ini, sampai-sampai orang lupa bahwa sesungguhnya kita sudah wafat.

 Kita boleh menuliskan hal-hal yang sederhana saja dalam tulisan yang singkat, satu atau dua paragraf. Kalau mau boleh tulis yang berat-berat, berjilid-jilid. Kalau perlu berpeti-peti. Kalau mampu menuliskan rahasia alam semesta ini, tentang energi kuantum, DNA, biologi molekuler, nuklir, dll, tulislah, kenapa tidak? Kalau mau menulis tentang dinamika manusia, ekonomi, politik, sejarah, dll, tulislah, tidak usah ragu-ragu. Kalau tidak mampu menulis yang berat-berat, tulis yang ringan-ringan saja, tentang masa kanak-kanak yang lucu, tentang kawan yang jahil, tentang kecoa yang menjijikkan, dll. Kita boleh menuliskan pengalaman, pengamatan, bahkan khayalan. Khalayalan juga bisa, mengapa tidak? Menulis cerita fiksi itu sesungguhnya menuliskan khayalan. Sebagian besar anak-anak belajar menulis dengan menulis khayalan-khayalannya. Berkelanalah ke seluruh alam jagat raya ini. Tuliskanlah hasil pengelanaan itu dengan kata dan kalimat. Syaratnya cuma satu. Apapun yang ditulis, bagaimanapun gayanya, kapanpun waktunya, jangan lepaskan dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.

 Mulailah dengan menyebut nama Allah, "Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Bisikkan ke dalam hati, "Wahai Tuhan, izinkan aku menuliskan pikiran dan perasaanku. Tidaklah ada maksudku kecuali mengikuti perintahMu dan demi tegaknya kebaikan-kebaikanMu. Aku hanya seorang hamba, sementara Engkau adalah Tuhanku. Bimbinglah aku. Curahkanlah ke hatiku ilmu. Jangan biarkan setan dan nafsu mengganguku sehingga tercabut rasa takut dan cintaku pada Mu." Dengan cara itu, insyaallah akan lahir tulisan-tulisan yang mencerahkan bukan meresahkan, tulisan-tulisan yang membawa kebaikan bukan kehancuran. Alangkah indahnya dunia ini, jika semua tulisan yang beredar di buku-buku, majalah, media-media elektronik, blog-blog, website adalah tulisan-tulisan yang lahir dari 'abid-abid, yang hatinya penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.

 Inilah yang saya katakan dengan menulis adalah ibadah kepada Allah. Selama ini, ada sebagian kawan kita yang berpikir bahwa ibadah itu hanya untuk urusan taharah, shalat, zakat, haji, membaca Alquran, zikir, dan do'a saja. Di sekitar itu saja kita harus kaitkan dengan Tuhan. Itu keliru. Jangan pakai lagi ajaran itu. Seluruh aktifitas kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi, dan bahkan dalam tidur sekalipun, harus menjadi ibadah, terkait dan dikaitkan dengan Tuhan dan syariatNya. Di mesjid kita beribadah, di pasar kita beribadah, di kantor beribadah, di kendaraan kita beribadah, bahkan di toilet atau kamar mandipun kita beribadah.

 Dengan indah dalam Al Quran surat Al Qalam, ayat 1 tertulis "Nun, walqalami wama yasturun." Demi pena, dan apa-apa yang ditulis. Betapa agungnya kegiatan tulis menulis dalam padangan Allah. Alangkah ruginya jika urusan yang seagung ini dijadikan sesuatu yang tidak berharga, tersia-sia, hanya karena mengejar mimpi duniawi belaka. Menulis mari menulis. Kita bangun lagi kasih sayang melalui tulis menulis. Menulislah karena Allah, untuk Allah dan di atas jalan Allah.

 Bagaimana menurut pendapat anda?

 Wallahu a'lam.

Sedikit tentang jargon Q'Writing

Mungkin ada bertanya-tanya, Q'Writing kosa kata dari planet mana. Soalnya di bebera tulisan saya terdahulu sudah menyebutkannya. Q'Writing, saya singkat dari QuantumWriting. Nama sebuah teori baru, berisi formula yang inspiratif berupa kumpulan gagasan yang dapat (setidak-tidaknya diharapkan) membangkitkan motivasi menulis, sekaligus mengarahkan penulis menemukan track tercepat dalam menulis sehingga lebih produktif. Ya, itu istilah saya saja. Belum dicek apakah sudah ada yang memakainya atau belum. (Kemana ngeceknya ya? Mohon maaf, kalau sudah ada yang pakai apalagi sudah mematenkan.

 Jadi sambil belajar menulis, saya mencoba menyusun formula-formula itu. Bahan-bahannya bukan hasil perenungan saya. Sedikit-sedikit ada jugalah. Apalah saya, bisa menciptakan sebuah teori secara orisinil. Bahannya diambil dari pengalaman penulis-penulis yang sudah lebih dulu sukses di bidang tulis menulis. Adonannya bukan dari satu dua orang saja, melainkan diramu dari belasan penulis-penulis yang mau berbagi kepenulisan mereka, terutama melalui blog-blog. Meminjam istilah Hernowo Hasim, teori ini adalah hasil "mengikat makna" dari sejumlah teori. Menurut Buzan, hasil "mindmapping". He he he.

 Pengalaman dan kesediaan para penulis untuk berbagi, tidak bisa dipandang enteng bagi perkembangan tulis menulis di negeri ini. Mereka telah menelorkan buku-buku best seller di bidangnya masing-masing sebagai bukti kepenulisan mereka. Tak perlulah saya sebutkan satu persatu nama mereka di sini. Yang pasti, mereka semuanya penulis produktif atau best seller, baik fiksi maupun non fiksi, baik ilmiah maupun pop, baik dalam negeri maupun luar negeri. Saya mengambil berbagai trik, tip, teknik, resep, short cut, atau apalah namanya, dari pengalaman mereka menulis yang saya aduk-aduk dengan pengalaman saya sendiri, ditambahi bumbu. Sekali-sekali ditapis juga. Yang berkaitan dengan Islam dan spiritual, saya merujuk kepada guru mursyid saya, Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad at Tamimi, yang juga seorang penulis kurang lebih 100-an judul buku/booklet dan 10,000-an sajak, seraya minta ampun maaf kalau ada kekhilafan di sana sini.

 Q'Writing, kalau Anda mau artikan dengan QalbunWriting, sebenarnya bisa juga karena di dalamnya akan disinggung sedikit banyak tentang qalbu, hati nurani, spiritualitas. Mau disebut Quranic Writing juga boleh, karena dalam formulasinya, Anda sedikit banyak akan dibawa menyelami ayat-ayat Al Quran, sebuah dokumen tertulis terabadi dan teragung sepanjang zaman. Rasanya, ketiga-tiganya bisa relevan dalam konteks ini.

 Untuk sementara biar saya jelaskan dulu relevansinya dengan teori Quantum dalam Fisika. Mudah-mudahan saja nyambung.

 Saya tahu, beberapa buku sudah menggunakan kata Quantum (kadang-kadang pakai huruf "k" menjadi Kuantum). Sebutlah diantaranya Quantum Learning, Quantum Business, Quantum Teaching, dan yang terakhir Quantum Ikhlas. Yang saya sebutkan itu termasuk buku-buku motivasi. Mungkin akan ada orang yang khawatir kalau istilah ini meniru atau mengekor orang lain.

 Eit, tenang dulu. Saya tidak perlu malu. Yang dilarang adalah membajak karya orang bulat-bulat dan mengkomersilkannya. Sebagian besar yang terjadi di dunia tulis menulis adalah tiru-meniru dan ekor-mengekor. Satu judul jadi best seller, puluhan buku akan mengekornya. Ada yang mengekori judulnya, ada yang mengekori temanya, bahkan ada yang mengekori desain covernya. Itu sudah lumrah.

 Quantum itu sendiri bukanlah istilah dari ranah motivasi atau psikologi itu sendiri, melainkan dari Fisika. Tokoh-tokoh Fisika modern yang diprakarsai oleh Albert Einstein mengoreksi teori-teori Fisika klasik tentang energi. Fisika klasik melihat energi sebagai suatu yang kontinu, yang disebut Continum, yang bergerak dalam bentuk gelombang, sementara Fisika modern melihat energi sebagai suatu pancaran paket yang teputus-putus, yang disebut Quantum, yang besarnya berbanding lurus dengan masa dan kecepatan berpangkat dua.

 Banyak penulis motivasi tertarik mengaitkan motivasi ke teori quantum. Mungkin karena mereka tertarik pada hubungan antara energi dan kecepatan, sehingga mereka juga terinspirasi untuk melihat hubungan antar amotivasi, energi dan produktifitas dalam aktifitas manusia. Sederhana, bukan?

 Menulis, misalnya, ternyata bukan didominasi oleh masalah keterampilan, melainkan masalah motivasi. Tepatlah kalau teori ini dinamakan dengan Quantum juga. Logikanya sederhana saja, semakin energik menulis akan semakin cepat hentakan keyboardnya. Semakin cepat akan semakin energik.Begitulah berbolak balik, sambung menyambung.

 Jadi, Q'Writing itu sendiri pada wujud nyatanya adalah kumpulan artikel, yang saya tulis dalam bentuk paket-paket kecil. Walalupun kecil tapi padat, persis seperti quantum pada Fisika. Paket itu berdaya ledak hebat karena ditulis dalam kecepatan tinggi. Setiap paket berdiri sendiri seperti bom atom yang siap membordir jiwa-jiwa yang tidur.

 Betulkah? Itukan maunya. Mohon do'a. Mohon input.

 Anda ingin bisa menulis seperti penulis-penulis besar? Bacalah Q'Writing dan bersiaplah untuk meledak! Hua ha ha. Selamat datang di dunia tulis-menulis yang menyenangkan. Monggo.

 Para blogger, sila mengakses juga teori ini melalui http://batubertulis.blogspot.com

  
 

Wallahu a'lam

Selasa, November 17, 2009

Terinspirasi dari bloger

Saya bangga bisa berkenalan dan belajar dengan dua tokoh yang saya anggap sebagai inspirator kepenulisan saya: Andrias Harefa dan Edy Zaqeus. Oh ya, juga Her Suharyanto. Ketiga-tiganya dari Writer Scholen, sebuah lembaga pengembang kemampuan personal, khususnya menulis. Awalnya saya akan belajar menulis secara autodidak saja. Malu-maluin rasanya sudah tua masih belajar menulis. Tapi saya pikir-pikir, saya mungkin sudah tidak punya waktu lagi, karena bahan yang akan ditulis banyak bukan main. Otak sudah penuh, lemaripun penuh. Untuk dapat jalan pintas, saya urungkan niat bermalu-malu itu. Saya nekat juga akhirnya mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh mereka. Setelah itu, saya lanjutkan dengan membaca buku-buku tulisan mereka yang khusus membicarakan perkara kepenulisan dan tak lupa saya kunjungi blog-blog mereka yang sangat inspiratif, karena mereka memang termasuk blogger. Andrias di http://andriasharefa.com, Edy di http://ezonwriting.wordpress.com, dan Her Suharyanto di http://jurutulis.com

 
Perlu diketahui akhir-akhir ini, saya suka mengunjungi blog-blog yang beredar di dunia maya. Sebagian blog itu saya cari sendiri melalui google atau yahoo, dan sisanya hasil link dari blog-blog yang sudah saya kunjungi terlebih dulu. Mungkin karena sudah kompak untuk saling membaca, biasanya para bloger itu menyediakan link ke blog-blog lain yang mereka rekomendasikan yang mereka namakan blog teman atau blog tetangga. Menarik sekali memang. Satu blog terbuka, yang lain akan susul menyusul.

 
Karena blogging kemana kemari, baru-baru ini mentor saya bertambah satu lagi dalam kepenulisan. Beliau adalah Ersis Warmansyah Abbas. Belum lama ini, saya dikejutkan oleh satu blog dengan tajuk "Menulis tanpa berguru, http://webersis.com. Saya belum pernah bertemu muka. Pertemuan satu-satunya melalui dunia maya saja. Menurut saya, inilah blog yang paling getol membicarakan tentang menulis. Bahkan saya sempat berpikir jangan-jangan sudah terlalu getol. "Pokoknya tulis, " itu katanya.

 
Berbeda dengan Andrias dan Edy yang menganggap workshop atau kursus kepenulisan perlu, Ersis malah mempertanyakan apa perlu adanya workshop atau kursus menulis diadakan. Bagi dia kursus itu menghabiskan waktu dan uang saja. Bagi Ersis menulis ya menulis. Tidak ada cara belajar menulis kecuali menulis tiap hari. Terus menulis sebanyak-banyaknya. Tidak bisa menulis yang panjang-panjang, tulis yang pendek. Bahan tulisan tersebar di mana-mana.

 
Untuk membakar semangat, saya sempat terbakar tapi tidak sampai hangus, pikiran Ersis ini boleh juga dipakai. Saya dibuat gregetan membaca tulisan-tulisannya. Dan saya setuju bahwa teknik menulis adalah keterampilan yang dipelajari di SD. Andrias pernah mengatakan itu juga pada saya. Hanya saja mungkin, kita tidak boleh abaikan adanya fakta, ternyata banyak orang yang tidak bisa menulis padahal bahan yang akan ditulisnya bertumpuk-tumpuk. Ersis sendiri yang sering mengatakan bahwa dosen-dosen lebih senang memamerkan buku orang yang sudah dia baca, bukan buku yang dia tulis, padahal dia mampu bercerita di depan kelas berjam-jam. Kalau ia mau menulis apa yang dia ceritakan itu, berpuluh-puluh buku akan lahir di tangannya. Saya kira ini benar-benar menyinggung perasaan para intelektual. Mungkin sebagian bertobat dan terus menulis, dan sebagian lagi berdendam pada Ersis.

 
Kalau saya gabungkan pemikiran Ersis dengan pemikiran Andrias dan Edy, intinya sama. Ada overlappingnya. Workshop atau kursus yang dipandang perlu oleh Andrias dan Edy, ternyata memang bertujuan membangkitkan motivasi, bukan belajar menyusun kata menjadi kalimat dan seterusnya menjadi pargaraf. Dosen-dosen yang diceritakan Ersis sebenarnya memang tidak memerlukan pelajaran menulis dalam arti menyusun kalimat, melainkan perlu suntikan motivasi. Jadi saya pikir, kursus menulis sah-sah saja, sebagai wadah pembangun motivasi. Bagi yang melihat bahwa faktor motivasi merupakan ganjalannya selama ini, maka ikutlah kursus. Bagi yang sudah memilikinya, silakan langsung memulai. Kalau saya, kayaknya masih perlu motivator.

 
Apapun yang mereka katakan dan apapun perbedaan pendapat masing-masing, ketiga orang ini telah menginspirasi saya. Dari inspirasi itu, sayapun telah menjelajah ke blog-blog lain yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya bicara tentang kepenulisan. Fiksi dan non fiksi sudah bercampur aduk. Yang ilmiah, yang pop, yang gaul telah menjadi satu. Kini giliran saya untuk menyiapkan teori baru dalam kepenulisan yang saya namakan "QuantumWriting", he he he.

 
Orang lain boleh berteori, mangapa pula saya tidak boleh? Ingat, antara Quantum dan Writing, sengaja tidak pakai spasi, biar nampak gagah.

 
Sudah banyak buku yang menggunakan kata Quantum, tidak masalah. Tenang saja. Tak usah malu-malu. Sebagian besar yang terjadi di dunia tulis menulis adalah tiru meniru dan ekor mengekor. Yang penting tidak membajak. Quantum itu sendiri istilah yang diambil dari Fisika modern yang mengoreksi fisika klasik tentang energi. Fisika klasik melihat energi sebagai suatu yang kontinu (kontinum) yang bergerak semacam gelombang, sementara Fisika modern melihat energi sebagai suatu paket yang teputus-putus yang dipancarkan yang besarnya berbanding lurus dengan masa dan kecepatan berpangkat dua, yang disebut Quantum

 
Karena menulis ternyata bukanlah masalah keterampilan, melainkan masalah energi, maka tepatlah kalau teori ini dinamakan dengan Quantum juga. Seperti saya sampaikan tadi, sebelum ini telah banyak buku yang menggunakan nama kuantum (pakai huruf "k") untuk menunjukkan antara energi dan kecepatan. Karena masa tetap, maka energi akan berbanding lurus dengan kecepatan. Semakin tinggi kecepatan semakin tinggi energi yang diperoleh. Para penulis senior telah membuktikan hubungan yang sangat jelas antara kecepatan menulis dan energi motivasi. Motivasi yang tinggi meningkatkan kecepatan menulis berkali-kali. Demikian juga kecepatan menulis menaikkan energi motivasi. Semakin cepat semakin energik.

 
Formula dalam QuantumWriting tidak diambil dari satu dua orang penulis hebat. Teori ini diramu dari lebih sepuluh penulis-penulis yang mau berbagi kepenulisan mereka melalui blog-blog. Mereka telah menelorkan buku-buk best seller di bidangnya masing-masing sebagai bukti kepenulisan mereka. Tak perlu disebutkan satu persatu nama mereka di sini. Mereka di antaranya penulis fiksi dan sebagian non fiksi. Sebagian mereka adalah penulis ilmiah, penulis pop dan sebagian lagi penulis gaul. Di dalam QuantumWriting ada paket-paket kecil tulisan, persis seperti kuantum energi. Namun setiap paket itu berdaya ledak yang tinggi. Setiap paket berdiri sendiri. Walaupun pendek secara materi tetapi dikerjakan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ingat besarnya energi berbanding lurus dengan kecepatan berpangkat dua. Meminjam istilah Hernowo Hasim, teori ini adalah hasil pengikatan makna dari sejumlah teori.

 
QuantumWriting akan berisi metoda membangitkan semangat menulis dan metoda memproduktifkan tulisan. Formula ini diharapkan pula akan memberikan motivasi bagi para pencinta tulis-menulis dan memberikan metoda singkat dan padat bagaimana menjadi produktif dalam menulis. Semogalah lahir generasi yang yang akan membangun peradaban yang lebih baik di masa depan karena kita memulainya dari elemen asas membangun peradaban itu sendiri, yaitu menulis.

 
Anda ingin bisa menulis seperti penulis-penulis besar? Pelajari QuantumWriting! Selamat datang di dunia tulis-menulis yang menyenangkan. Para blogger, sila mengakses teori ini melalui http://batubertulis.blogspot.com

 
Bagaimana pendapat anda?

 
Wallahu a'lam.

 
 

Jumat, November 06, 2009

Sariawan dan menulis

Ternyata ada hubungan antara sariawan dengan menulis. Mau tahu? Hampir sejak seminggu yang lalu saya di serang sariawan. Posisinya tepat di tepi lidah sebelah kiri, luka memanjang. Kalau dipakai bicara, sakitnya bukan main, karena ia menggeser ke geraham kiri. Tapi kalau dibawa makan yang pedas, tak terasa apa-apa. Entah sariawan atau hanya luka bekas tergigit, saya tak tahu pasti.

 
Akibat sariawan, saya harus mengurangi frekuensi berbicara. Kalaupun saya paksakan, saya akan "mengaduh". Ada beberapa obat yang sudah saya coba, nampaknya tidak mempan. Padahal di sisi lain, saya tidak mungkin berhenti berkomunikasi, baik untuk keperluan pribadi ataupun keperluan pekerjaan. Terutamanya keperluan pekerjaan. Setiap pagi biasanya saya harus diskusi dengan kawan melalui telepon.

 
Sebagai konsekuensinya, saya harus menulis. Kini terpaksa pakai e-mail atau chating sebagai pengganti telepon langsung. Saya jadi teringat guru-guru menulis saya yang bersusah payah memaksa saya menulis dan menulis, namun tak menulis juga. Gara-gara sariawan saya jadi terpaksa menulis. Bahkan sekarang malah jadi susah menghentikannya. Ada-ada saja yang ingin saya tulis.

 
Tak disangka hal yang kelihatannya tak terkait, ternyata terkait erat: sariawan dan menulis.

 
Walaupun ada hikmahnya, saya tetap berharap sariawan saya sembuh juga. Do'akan ya!. Dan, Anda jangan sama sekali berharap kena sariawan dulu seperti saya untuk mulai menulis.

 
Bagiamana pendapat Anda?

 
Wallahu a'lam