Jumat, November 20, 2009

Menulis hanya perlu pembiasaan

Setelah ditanamkan minda pertama bahwa menulis itu ibadah, minda kedua ialah bahwa menulis itu mudah. Sulitnya menulis hanya terjadi di minggu-minggu pertama kita memulai proses pembiasaan, seperti canggungnya penganten baru. Ini diakui oleh sebagian penulis-penulis berkaliber nasional dan internasional.

 Bambang Trim mengatakan bahwa menulis gampang-gampang susah. Artinya, gampangnya dua kali, susahnya sekali. Kesusahan itu akan hilang dengan sendirinya setelah proses pembiasaan berketerusan dengan berlatih setiap hari. Ersis Warmansyah Abbas mengumpamakan menulis dengan menyetir mobil.Waktu belajar, tubruk sana tubruk sini. Andrias Harefa mengumpamakan menulis seperti naik sepeda, awal-awalnya masih susah mencari titik keseimbangan. Edy Zaqeus mengumpamakan belajar menulis seperti jadi penganten.Grogi. Begitulah para penulis produktif itu menggambarkan bagaimana mudah atau susahnya menulis. Itu pengalaman ril mereka.

 Bagaimana dengan pengalaman anda? Mari berbagi.

 Ada teori yang mengatakan semua kita terlahir sebagai jenius. Mungkin benar mungkin tidak. Tetapi menulis tidak memerlukan kejeniusan itu. Kalaupun kita ditakdirkan jenius, kejeniusan itu mungkin diperlukan untuk yang lain, tapi bukan untuk menulis. Orang yang IQ nya pas-pasan seperti saya saja, bisa menulis he he he.

 Saya sudah ujicobakan teori ini kepada anak saya yang baru duduk di kelas 4 SD, menjelang naik ke kelas V. alhamdulillah berhasil. Begitu mudahnya menulis, anak itu sudah menulis satu artikel dalam beberapa jam saja. Kini sudah lahir puluhan artikel di tangannya.

 Anak kelas 4 SD sudah bisa menulis? Ya, karena keterampilan menulis itu adalah keterampilan sekolah dasar. Walaupun ia masih menulis cerita fiksi, alias khayalan, tidak apa, sebagai pemula. Sekarang dia sudah mulai menulis non fiksi juga, lengkap dengan referensi-referensinya, wow. Saya sekarang sedang melatih anak saya yang baru sekolah di taman kanak-kanak, Tadika Global Ikhwan, untuk menulis. Kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata sudah bisa dirangkainya, walaupun masih lambat tertatih-tatih. Jangan-jangan keterampilan menulis bukan lagi keterampilan tingkat SD tapi malah TK.

 Tentu saja Anda tidak boleh bandingkan tulisan anak saya itu dengan buku "Menjadi Manusia Pembelajar"nya Andrias Harefa atau novel "Laskar Pelangi" nya Andrea Hirata. Jelas, itu perbandingan yang tidak berimbnag. Saya hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa menulis itu ternyata sangat mudah. Anak kecil saja bisa, yang tua pasti lebih bisa. Itu maksudnya.

 Menulis kan pada dasarnya hanya menyalin apa yang sedang anda pikirkan dan rasakan ke dalam simbol berupa huruf-huruf, membentuk kata yang bersusun menjadi kalimat untuk dipahami yang membaca. Sebaliknya, membaca adalah memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penulis menggunakan simbol yang sama. Dengan kombinasi menulis dan membaca maka terjadilah pertukaran pikiran dan perasaan dari orang ke orang. Waduh, memahami penjelasn ini saja, malah lebih sulit daripada menulis itu sendiri.

 Anda bisa membaca, bukan? Kalau bisa, berarti Anda telah mengetahui simbol-simbol berupa kata. Menulis adalah kebalikan membaca. Kalau begitu, alangkah mudahnya menulis itu karena kita hanya mengubah pikiran menjadi kata. Apa yang kita tulis adalah apa yang ada di dalam pikiran kita. Pikiran itu sendiri muncul setiap detik dalam kehidupan kita dalam jumlah yang berlimpah ruah dari detik ke detik, lebih cepat dari tarikan nafas.

 Anda setiap hari berbicara, bukan? Berbicara sama dengan menulis. Bedanya, simbol yang dipakai dalam berbicara adalah simbol lisan, berupa ucapan dan intonasi. Sementara dalam tulisan, kita menggunakan susunan kata dan tanda baca. Kalau Anda bisa bicara berjam-jam, begunjing, "ngrumpi", apalagi berceramah, mengajar, atau memberi kuliah, Anda pasti bisa menulis berjam-jam.

 Kalau sedang sendirian di mobil atau di kamar mandi, Anda sering berbicara sendiri. Apalagi sedang jengkel dengan orang lain, dengan istri, suami atau mertua, kita sering menggerutu sendiri, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebenarnya Anda sedang menulis satu artikel, cuma di awang-awang. Ini semua pertanda Anda bisa menulis di kertas. Tinggal ambil alat tulis, beres.

 Kuncinya sederhana sekali rupanya. Ambillah alat tulis, kertas dan pena atau komputer. Tulislah dulu satu kalimat, satu saja, kemudian berhenti. Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya, berhenti lagi. Lanjutkan menulis kalimat yang ketiganya dan seterusnya. Anda akan merasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan terus mengalir. Anda akan merasakan aliran pikiran begitu deras, berbaris-baris seperti serdadu, melompat keluar satu persatu, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Wow.

 Anda akan mengalami juga suatu waktu ketika alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Ketika itu aliran pikiran bahkan melebihi kecepatan tangan menulis. Bahkan sebagian penulis mengkau bisa lupa waktu, lupa istri, lupa suami. Ya, salah juga. Janganlah sampai sebegitunya. Semua penulis besar yang sudah menulis puluhan buku mengakui adanya keadaan ini, dan mereka punya istilah masing-masing yang lucu-lucu untuk menyebutkan keadaan ini. Ada yang menyebutnya dengan istilah "writing trances", "orgasmic writing", atau "writing on fly". Tidak ada yang ajaib. Tuhan telah buatkan untuk kita semua kemudahan itu. Bersyukurlah.

 Macet? Ya tidak apa-apa, tinggal berhenti sejenak. Nanti akan ada celahnya Anda untuk jalan kembali. Lha jalan di Jakarta saja tiap hari macet. "Itu saja kok repot?" kata Gus Dur. Tidak ada macet yang permanen. Menulis mari menulis. Menulis itu sangat mudah.

 Anda punya pandangan lain? Ayo, mari berbagi.

 Wallahu a'lam.

1 komentar:

  1. Saya ada membaca tulisan abang,bagus untuk saya,terima kasih,insyaallah saya akan mencubanya.

    BalasHapus