Tampilkan postingan dengan label Kepenulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepenulisan. Tampilkan semua postingan

Jumat, November 20, 2009

Menulis hanya perlu pembiasaan

Setelah ditanamkan minda pertama bahwa menulis itu ibadah, minda kedua ialah bahwa menulis itu mudah. Sulitnya menulis hanya terjadi di minggu-minggu pertama kita memulai proses pembiasaan, seperti canggungnya penganten baru. Ini diakui oleh sebagian penulis-penulis berkaliber nasional dan internasional.

 Bambang Trim mengatakan bahwa menulis gampang-gampang susah. Artinya, gampangnya dua kali, susahnya sekali. Kesusahan itu akan hilang dengan sendirinya setelah proses pembiasaan berketerusan dengan berlatih setiap hari. Ersis Warmansyah Abbas mengumpamakan menulis dengan menyetir mobil.Waktu belajar, tubruk sana tubruk sini. Andrias Harefa mengumpamakan menulis seperti naik sepeda, awal-awalnya masih susah mencari titik keseimbangan. Edy Zaqeus mengumpamakan belajar menulis seperti jadi penganten.Grogi. Begitulah para penulis produktif itu menggambarkan bagaimana mudah atau susahnya menulis. Itu pengalaman ril mereka.

 Bagaimana dengan pengalaman anda? Mari berbagi.

 Ada teori yang mengatakan semua kita terlahir sebagai jenius. Mungkin benar mungkin tidak. Tetapi menulis tidak memerlukan kejeniusan itu. Kalaupun kita ditakdirkan jenius, kejeniusan itu mungkin diperlukan untuk yang lain, tapi bukan untuk menulis. Orang yang IQ nya pas-pasan seperti saya saja, bisa menulis he he he.

 Saya sudah ujicobakan teori ini kepada anak saya yang baru duduk di kelas 4 SD, menjelang naik ke kelas V. alhamdulillah berhasil. Begitu mudahnya menulis, anak itu sudah menulis satu artikel dalam beberapa jam saja. Kini sudah lahir puluhan artikel di tangannya.

 Anak kelas 4 SD sudah bisa menulis? Ya, karena keterampilan menulis itu adalah keterampilan sekolah dasar. Walaupun ia masih menulis cerita fiksi, alias khayalan, tidak apa, sebagai pemula. Sekarang dia sudah mulai menulis non fiksi juga, lengkap dengan referensi-referensinya, wow. Saya sekarang sedang melatih anak saya yang baru sekolah di taman kanak-kanak, Tadika Global Ikhwan, untuk menulis. Kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata sudah bisa dirangkainya, walaupun masih lambat tertatih-tatih. Jangan-jangan keterampilan menulis bukan lagi keterampilan tingkat SD tapi malah TK.

 Tentu saja Anda tidak boleh bandingkan tulisan anak saya itu dengan buku "Menjadi Manusia Pembelajar"nya Andrias Harefa atau novel "Laskar Pelangi" nya Andrea Hirata. Jelas, itu perbandingan yang tidak berimbnag. Saya hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa menulis itu ternyata sangat mudah. Anak kecil saja bisa, yang tua pasti lebih bisa. Itu maksudnya.

 Menulis kan pada dasarnya hanya menyalin apa yang sedang anda pikirkan dan rasakan ke dalam simbol berupa huruf-huruf, membentuk kata yang bersusun menjadi kalimat untuk dipahami yang membaca. Sebaliknya, membaca adalah memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penulis menggunakan simbol yang sama. Dengan kombinasi menulis dan membaca maka terjadilah pertukaran pikiran dan perasaan dari orang ke orang. Waduh, memahami penjelasn ini saja, malah lebih sulit daripada menulis itu sendiri.

 Anda bisa membaca, bukan? Kalau bisa, berarti Anda telah mengetahui simbol-simbol berupa kata. Menulis adalah kebalikan membaca. Kalau begitu, alangkah mudahnya menulis itu karena kita hanya mengubah pikiran menjadi kata. Apa yang kita tulis adalah apa yang ada di dalam pikiran kita. Pikiran itu sendiri muncul setiap detik dalam kehidupan kita dalam jumlah yang berlimpah ruah dari detik ke detik, lebih cepat dari tarikan nafas.

 Anda setiap hari berbicara, bukan? Berbicara sama dengan menulis. Bedanya, simbol yang dipakai dalam berbicara adalah simbol lisan, berupa ucapan dan intonasi. Sementara dalam tulisan, kita menggunakan susunan kata dan tanda baca. Kalau Anda bisa bicara berjam-jam, begunjing, "ngrumpi", apalagi berceramah, mengajar, atau memberi kuliah, Anda pasti bisa menulis berjam-jam.

 Kalau sedang sendirian di mobil atau di kamar mandi, Anda sering berbicara sendiri. Apalagi sedang jengkel dengan orang lain, dengan istri, suami atau mertua, kita sering menggerutu sendiri, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebenarnya Anda sedang menulis satu artikel, cuma di awang-awang. Ini semua pertanda Anda bisa menulis di kertas. Tinggal ambil alat tulis, beres.

 Kuncinya sederhana sekali rupanya. Ambillah alat tulis, kertas dan pena atau komputer. Tulislah dulu satu kalimat, satu saja, kemudian berhenti. Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya, berhenti lagi. Lanjutkan menulis kalimat yang ketiganya dan seterusnya. Anda akan merasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan terus mengalir. Anda akan merasakan aliran pikiran begitu deras, berbaris-baris seperti serdadu, melompat keluar satu persatu, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Wow.

 Anda akan mengalami juga suatu waktu ketika alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Ketika itu aliran pikiran bahkan melebihi kecepatan tangan menulis. Bahkan sebagian penulis mengkau bisa lupa waktu, lupa istri, lupa suami. Ya, salah juga. Janganlah sampai sebegitunya. Semua penulis besar yang sudah menulis puluhan buku mengakui adanya keadaan ini, dan mereka punya istilah masing-masing yang lucu-lucu untuk menyebutkan keadaan ini. Ada yang menyebutnya dengan istilah "writing trances", "orgasmic writing", atau "writing on fly". Tidak ada yang ajaib. Tuhan telah buatkan untuk kita semua kemudahan itu. Bersyukurlah.

 Macet? Ya tidak apa-apa, tinggal berhenti sejenak. Nanti akan ada celahnya Anda untuk jalan kembali. Lha jalan di Jakarta saja tiap hari macet. "Itu saja kok repot?" kata Gus Dur. Tidak ada macet yang permanen. Menulis mari menulis. Menulis itu sangat mudah.

 Anda punya pandangan lain? Ayo, mari berbagi.

 Wallahu a'lam.

Ai, ternyata menulis itu memang sangat mudah. He he he.

Tulislah dulu satu kalimat, satu saja. Kalimat pendek boleh. Anda akan tahu bahwa menulis itu ternyata memang mudah . Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya. Anda akan rasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan menuntun Anda menulis kalimat yang ketiganya. Ikutilah tuntutan itu. Dengarkan suara hati. Ubahlah suara itu menjadi kalimat-kalimat berikutnya, sampai ia beriring-iringan seperti gerbong kereta api.

Setelah itu, Anda akan mulai merasakan aliran pikiran yang berbaris seperti serdadu Nazi, melompat keluar satu persatu karena takut dibunuh, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Kini alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Otak menggelinjang. Botol pikiran itu kini telah seperti kehilangan sumbatnya. Mengalir dan mengalir.

Ai, ternyata, saya baru tahu menulis itu memang mudah, bahkan sangat mudah. Lihat, saya sudah selesaikan dua paragraf. Ajaib, bukan?

Saya ada cerita lama yang sedikit memalukan. Geli rasanya kalau diingat-ingat kembali. Suatu ketika dulu, tahun 80-an, saya bertemu satu buku yang ditulis oleh seorang penulis novel sohor Arswendo Atmowiloto yang berjudul, "Mengarang itu Gampang." Anda pernah baca buku itu? Terus terang, saya marah dan tersinggung.

Saya jawab, "Ah, siapa bilang mengarang itu gampang?" Kalaulah mengarang atau menulis itu gampang, tidaklah saya harus bersusah payah mencari tempat fotokopi yang murah sepanjang Gang Pelesiran di Bandung untuk mengopi "text book" asing, berbahasa asing, ditulis oleh orang asing, yang dipakai dalam kuliah, yang harga buku aslinya membuat kepala pening. Kalau menulis itu mudah, dosen-dosen itu pasti telah menuliskan kuliahnya dalam diktat-diktat yang pasti harganya terjangkau. Mengapa pula harus pakai buku tulisan orang lain? Bukankah di kampus sehebat ini, banyak pakar, bertaraf internasional, jebolan sekolah-sekolah antar bangsa? Tapi, buktinya tidak. Buku-buku agamapun pada waktu itu hampir seluruhnya karya terjemahan. Waktu itu kami banyak membaca buku2 tulisan ulama Mesir, Pakistan, dan Iran.

Saya punya bukti lain bahwa mengarang atau menulis tidak gampang. Tahukah Anda bahwa pernah juga dulu saya paksakan menulis dan mengirimkannya ke salah satu bulletin di kampus. Bulletin yang sama sekali tidak terkenal. Eh, tulisan itu ditolak mentah-mentah. Sang redaktur mengirimkan naskahnya kembali ke alamat saya, penuh dengan coretan dengan menyelipkan sebuah note, "Tulisan ini bagus, tapi maaf tidak bisa kami muat."

Apa salahnya, coba. Topiknya seingat saya tentang jin. Menarik bukan? Membicarakan jin waktu itu lebih menarik daripada membicarakan manusia. Tapi, mengapa tidak bisa dimuat?

Saya menuduh Arswendo Atmowiloto telah membuat lelucon besar. Dia meremehkan pekerjaan menulis seolah-olah setiap orang bisa melakukannya. "Gampang, gampang, tulislah!" Buktinya? Bukan saya saja, saya melihat ribuan intelektual, sarjana, dosen, mahasiswa, insinyur, dokter, ustaz, kiyai, manajer, bergelimpangan tidak bisa menulis. Inikah yang disebut "gampang" itu?

"Oh, mereka mungkin tidak punya bahan." Tak punya bahankah seorang professor?

"Oh, mungkin tak punya waktu." Selama 40, 50, bahkan 60 tahun? Tak bisa kah menyisihkan waktu untuk beberapa hari untuk sebuah buku atau beberapa jam untuk sebuah artikel?

Waktu itu, saya yakin hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menulis. Yang lain hanya berhak untuk membaca. Logikanya nampak seperti itu, harus lebih banyak pembaca dari penulis. Lha, kalau semua orang menulis, siapa lagi yang membacanya?. Orang yang sudah biasa menulis, kebetulan diberi rezki kemampuan menulis, seperti Arswendo tentu akan mengatakan menulis itu gampang. Pak Habibi juga akan mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang. Kalau begitu apakah semua orang bisa membuat pesawat terbang seperti Pak Habibi?

Begitu sulitnya menuangkan pikiran ke dalam tulisan itu, sampai-sampai saya pikir saya ditakdirkan hanya untuk membaca bukan untuk menulis. Menulis saya anggap keterampilan luar biasa yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang IQ nya jauh di atas saya. Orang yang IQ nya sekelas saya, terimalah nasib untuk menjadi pembaca saja seumur hidup, jangan bermimpi jadi penulis. "Menulis tak kalah sulitnya dari merancang pesawat ruang angkasa, biar pakarnya saja" pikir saya.

Akhirnya untunglah saya bertemu juga dengan orang-orang pilihan, penulis-penulis yang senang berbagi ilmu. Mereka menempeleng "mental block" yang sangat memalukan itu. Mereka membantu mencabik-cabik "frame" berpikir saya, dan membantu melepaskan kaca mata kuda yang saya pasang sendiri untuk mengekang potensi yang sudah Tuhan anugerahkan pada saya. Saya anggap mereka orang-orang yang baik hati. Tuhanlah yang mengirim mereka pada saya. Alhamdulillah.

Menulis itu ternyata mudah. Bahkan sangat mudah. Sekarang saya ingin minta maaf kepada Arswendo karena sudah berprasangka buruk. "Mas, mengarang itu ternyata memang gampang, bahkan sangat gampang" Hua ha ha ha. Begitu gampangnya, sehingga tidak diperlukan kursus mengarang. Hua ha ha ha.

Kalaupun masih terasa sulit dalam menulis, itu hanya akibat kegamangan seperti gamangnya penganten baru menaiki ranjang pengaten di minggu-minggu pertama. Para penulis senior mengatakan bahwa sulitnya menulis seperti sulitnya belajar menyetir mobil pertama kali, tubruk sana tubruk sini. Keringat bercucuran, tapi menyenangkan. Kalau sudah sehati, menyetir mobil itu bisa sambil ngobrol, makan kacang atau chatting di HP.

Aduh maaf, jadi terlalu panjang nnarasinya.

Bagaimanapun juga, kursus atau workshop untuk membangkitkan motivasi dan memantapkan teknik-teknik khusus dalam kepenulisan, seperti teknik narasi, argumentasi, eksposisi, sastrawi, dll, sah-sah saja diikuti. Biayanya toh tidak seberapa dibanding dengan manfaatnya.

Anda berani menerima tantangan? Let's go...

Wallahu a'lam.

Menulislah dengan nama Allah karena menulis itu ibadah

Kaidah pertama Q'Writing adalah meletakkan "mindset" atau minda di hati bahwa menulis itu ibadah kepada Allah SWT. Menulis merupakan perintah Allah kepada hamba-hambaNya. Karena itu, menulis harus dilaksanakan karenaNya, untukNya, dan di atas jalanNya. Inilah yang dimaksukan dengan menulis adalah ibadah. Sebelum otak dijejali dengan seperangkat teori, teori ini dulu.

 Tidak terbayang betapa indahnya menulis, menghentak-hentakkan jari dengan lembut di atas keyboard atau menggoreskan pena di kertas, menuliskan pikiran dan perasaaan sementara hati penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan? Apalagi kalau kita menulis selepas shalat dan wirid. Proses itu tidak hanya dapat menumbuhkan rasa bertuhan yang semakin dalam di hati yang menulis, tapi juga dapat memberikan keinsafan kepada yang membaca. Dan alangkah sia-sianya apa yang kita tulis, namun hati dipenuhi dengan hasrat duniawi, kepentingan emosional dan kebendaan. Menulis seperti itu pasti sangat menjemukan.

 Menulis yang paling indah adalah menulis sambil mendengarkan dendang hari nurani.Tidak hanya mengadalkan pandangan akal pikiran, tetapi mendengarkan bisikan hati nurani. Korek-koreklah sedikit celah-celah hati itu dan dengarkan kumandang suara Tuhan melaluinya. Kenang-kenangkan Tuhan. Kenang-kenangkan kemahapengawasannya, bahwa dia terus menerus mengawasi kita, melihat, mendengar, dan terus menerus berbicara dengan kita. Dengarkanlah baik-baik petunjuk-petunjukNYa. Perhatikan peringatan-peringatanNya. Jangan terlalu percaya dengan bisikan nafsu walau terasa sangat memberi harapan. Visualisasi nafsu di depan mata kita adalah tipu daya seperti fatamorgana.

 Mulailah menulis dengan menyebut namaNya, Ingat-ingatlah Dia selalu selama menulis, Ketika sampai waktu untuk menghadapNya, berhentilah menulis, tunaikanlah terlebih dulu kewajiban-kewajiban kepadaNya. Setelah itu, lanjutkanlah menulis kembali. Tak usah gopoh. Akhirilah tulisan Anda dengan memasrahkan kembali hasilnya kepadaNya, dengan rasa cemas, rasa was-was kalau-kalau Allah tak redha. Minta ampunlah kepadaNYa.

 Pikiran dan perasaan yang tertuang dalam tulisan Anda akan menjadi tulisan yang memiliki ruh, daya ledak yang dahsyat, bukan tulisan yang ompong, kosong. Tulisan-tulisan itu, betapapun sederhana, singkat, padat akan menjadi asas pembangunan peradaban manusia. Manusia bisa terhibur dan terobati dengannya.Tulisan ini akan menghiasi sejarah, sepanjang zaman. Betapapun jasad kita sudah terkubur, tulisan-tulisan itulah yang akan menggantikan keberadaan kita di dunia ini, sampai-sampai orang lupa bahwa sesungguhnya kita sudah wafat.

 Kita boleh menuliskan hal-hal yang sederhana saja dalam tulisan yang singkat, satu atau dua paragraf. Kalau mau boleh tulis yang berat-berat, berjilid-jilid. Kalau perlu berpeti-peti. Kalau mampu menuliskan rahasia alam semesta ini, tentang energi kuantum, DNA, biologi molekuler, nuklir, dll, tulislah, kenapa tidak? Kalau mau menulis tentang dinamika manusia, ekonomi, politik, sejarah, dll, tulislah, tidak usah ragu-ragu. Kalau tidak mampu menulis yang berat-berat, tulis yang ringan-ringan saja, tentang masa kanak-kanak yang lucu, tentang kawan yang jahil, tentang kecoa yang menjijikkan, dll. Kita boleh menuliskan pengalaman, pengamatan, bahkan khayalan. Khalayalan juga bisa, mengapa tidak? Menulis cerita fiksi itu sesungguhnya menuliskan khayalan. Sebagian besar anak-anak belajar menulis dengan menulis khayalan-khayalannya. Berkelanalah ke seluruh alam jagat raya ini. Tuliskanlah hasil pengelanaan itu dengan kata dan kalimat. Syaratnya cuma satu. Apapun yang ditulis, bagaimanapun gayanya, kapanpun waktunya, jangan lepaskan dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.

 Mulailah dengan menyebut nama Allah, "Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Bisikkan ke dalam hati, "Wahai Tuhan, izinkan aku menuliskan pikiran dan perasaanku. Tidaklah ada maksudku kecuali mengikuti perintahMu dan demi tegaknya kebaikan-kebaikanMu. Aku hanya seorang hamba, sementara Engkau adalah Tuhanku. Bimbinglah aku. Curahkanlah ke hatiku ilmu. Jangan biarkan setan dan nafsu mengganguku sehingga tercabut rasa takut dan cintaku pada Mu." Dengan cara itu, insyaallah akan lahir tulisan-tulisan yang mencerahkan bukan meresahkan, tulisan-tulisan yang membawa kebaikan bukan kehancuran. Alangkah indahnya dunia ini, jika semua tulisan yang beredar di buku-buku, majalah, media-media elektronik, blog-blog, website adalah tulisan-tulisan yang lahir dari 'abid-abid, yang hatinya penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.

 Inilah yang saya katakan dengan menulis adalah ibadah kepada Allah. Selama ini, ada sebagian kawan kita yang berpikir bahwa ibadah itu hanya untuk urusan taharah, shalat, zakat, haji, membaca Alquran, zikir, dan do'a saja. Di sekitar itu saja kita harus kaitkan dengan Tuhan. Itu keliru. Jangan pakai lagi ajaran itu. Seluruh aktifitas kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi, dan bahkan dalam tidur sekalipun, harus menjadi ibadah, terkait dan dikaitkan dengan Tuhan dan syariatNya. Di mesjid kita beribadah, di pasar kita beribadah, di kantor beribadah, di kendaraan kita beribadah, bahkan di toilet atau kamar mandipun kita beribadah.

 Dengan indah dalam Al Quran surat Al Qalam, ayat 1 tertulis "Nun, walqalami wama yasturun." Demi pena, dan apa-apa yang ditulis. Betapa agungnya kegiatan tulis menulis dalam padangan Allah. Alangkah ruginya jika urusan yang seagung ini dijadikan sesuatu yang tidak berharga, tersia-sia, hanya karena mengejar mimpi duniawi belaka. Menulis mari menulis. Kita bangun lagi kasih sayang melalui tulis menulis. Menulislah karena Allah, untuk Allah dan di atas jalan Allah.

 Bagaimana menurut pendapat anda?

 Wallahu a'lam.

Sedikit tentang jargon Q'Writing

Mungkin ada bertanya-tanya, Q'Writing kosa kata dari planet mana. Soalnya di bebera tulisan saya terdahulu sudah menyebutkannya. Q'Writing, saya singkat dari QuantumWriting. Nama sebuah teori baru, berisi formula yang inspiratif berupa kumpulan gagasan yang dapat (setidak-tidaknya diharapkan) membangkitkan motivasi menulis, sekaligus mengarahkan penulis menemukan track tercepat dalam menulis sehingga lebih produktif. Ya, itu istilah saya saja. Belum dicek apakah sudah ada yang memakainya atau belum. (Kemana ngeceknya ya? Mohon maaf, kalau sudah ada yang pakai apalagi sudah mematenkan.

 Jadi sambil belajar menulis, saya mencoba menyusun formula-formula itu. Bahan-bahannya bukan hasil perenungan saya. Sedikit-sedikit ada jugalah. Apalah saya, bisa menciptakan sebuah teori secara orisinil. Bahannya diambil dari pengalaman penulis-penulis yang sudah lebih dulu sukses di bidang tulis menulis. Adonannya bukan dari satu dua orang saja, melainkan diramu dari belasan penulis-penulis yang mau berbagi kepenulisan mereka, terutama melalui blog-blog. Meminjam istilah Hernowo Hasim, teori ini adalah hasil "mengikat makna" dari sejumlah teori. Menurut Buzan, hasil "mindmapping". He he he.

 Pengalaman dan kesediaan para penulis untuk berbagi, tidak bisa dipandang enteng bagi perkembangan tulis menulis di negeri ini. Mereka telah menelorkan buku-buku best seller di bidangnya masing-masing sebagai bukti kepenulisan mereka. Tak perlulah saya sebutkan satu persatu nama mereka di sini. Yang pasti, mereka semuanya penulis produktif atau best seller, baik fiksi maupun non fiksi, baik ilmiah maupun pop, baik dalam negeri maupun luar negeri. Saya mengambil berbagai trik, tip, teknik, resep, short cut, atau apalah namanya, dari pengalaman mereka menulis yang saya aduk-aduk dengan pengalaman saya sendiri, ditambahi bumbu. Sekali-sekali ditapis juga. Yang berkaitan dengan Islam dan spiritual, saya merujuk kepada guru mursyid saya, Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad at Tamimi, yang juga seorang penulis kurang lebih 100-an judul buku/booklet dan 10,000-an sajak, seraya minta ampun maaf kalau ada kekhilafan di sana sini.

 Q'Writing, kalau Anda mau artikan dengan QalbunWriting, sebenarnya bisa juga karena di dalamnya akan disinggung sedikit banyak tentang qalbu, hati nurani, spiritualitas. Mau disebut Quranic Writing juga boleh, karena dalam formulasinya, Anda sedikit banyak akan dibawa menyelami ayat-ayat Al Quran, sebuah dokumen tertulis terabadi dan teragung sepanjang zaman. Rasanya, ketiga-tiganya bisa relevan dalam konteks ini.

 Untuk sementara biar saya jelaskan dulu relevansinya dengan teori Quantum dalam Fisika. Mudah-mudahan saja nyambung.

 Saya tahu, beberapa buku sudah menggunakan kata Quantum (kadang-kadang pakai huruf "k" menjadi Kuantum). Sebutlah diantaranya Quantum Learning, Quantum Business, Quantum Teaching, dan yang terakhir Quantum Ikhlas. Yang saya sebutkan itu termasuk buku-buku motivasi. Mungkin akan ada orang yang khawatir kalau istilah ini meniru atau mengekor orang lain.

 Eit, tenang dulu. Saya tidak perlu malu. Yang dilarang adalah membajak karya orang bulat-bulat dan mengkomersilkannya. Sebagian besar yang terjadi di dunia tulis menulis adalah tiru-meniru dan ekor-mengekor. Satu judul jadi best seller, puluhan buku akan mengekornya. Ada yang mengekori judulnya, ada yang mengekori temanya, bahkan ada yang mengekori desain covernya. Itu sudah lumrah.

 Quantum itu sendiri bukanlah istilah dari ranah motivasi atau psikologi itu sendiri, melainkan dari Fisika. Tokoh-tokoh Fisika modern yang diprakarsai oleh Albert Einstein mengoreksi teori-teori Fisika klasik tentang energi. Fisika klasik melihat energi sebagai suatu yang kontinu, yang disebut Continum, yang bergerak dalam bentuk gelombang, sementara Fisika modern melihat energi sebagai suatu pancaran paket yang teputus-putus, yang disebut Quantum, yang besarnya berbanding lurus dengan masa dan kecepatan berpangkat dua.

 Banyak penulis motivasi tertarik mengaitkan motivasi ke teori quantum. Mungkin karena mereka tertarik pada hubungan antara energi dan kecepatan, sehingga mereka juga terinspirasi untuk melihat hubungan antar amotivasi, energi dan produktifitas dalam aktifitas manusia. Sederhana, bukan?

 Menulis, misalnya, ternyata bukan didominasi oleh masalah keterampilan, melainkan masalah motivasi. Tepatlah kalau teori ini dinamakan dengan Quantum juga. Logikanya sederhana saja, semakin energik menulis akan semakin cepat hentakan keyboardnya. Semakin cepat akan semakin energik.Begitulah berbolak balik, sambung menyambung.

 Jadi, Q'Writing itu sendiri pada wujud nyatanya adalah kumpulan artikel, yang saya tulis dalam bentuk paket-paket kecil. Walalupun kecil tapi padat, persis seperti quantum pada Fisika. Paket itu berdaya ledak hebat karena ditulis dalam kecepatan tinggi. Setiap paket berdiri sendiri seperti bom atom yang siap membordir jiwa-jiwa yang tidur.

 Betulkah? Itukan maunya. Mohon do'a. Mohon input.

 Anda ingin bisa menulis seperti penulis-penulis besar? Bacalah Q'Writing dan bersiaplah untuk meledak! Hua ha ha. Selamat datang di dunia tulis-menulis yang menyenangkan. Monggo.

 Para blogger, sila mengakses juga teori ini melalui http://batubertulis.blogspot.com

  
 

Wallahu a'lam

Selasa, November 17, 2009

Terinspirasi dari bloger

Saya bangga bisa berkenalan dan belajar dengan dua tokoh yang saya anggap sebagai inspirator kepenulisan saya: Andrias Harefa dan Edy Zaqeus. Oh ya, juga Her Suharyanto. Ketiga-tiganya dari Writer Scholen, sebuah lembaga pengembang kemampuan personal, khususnya menulis. Awalnya saya akan belajar menulis secara autodidak saja. Malu-maluin rasanya sudah tua masih belajar menulis. Tapi saya pikir-pikir, saya mungkin sudah tidak punya waktu lagi, karena bahan yang akan ditulis banyak bukan main. Otak sudah penuh, lemaripun penuh. Untuk dapat jalan pintas, saya urungkan niat bermalu-malu itu. Saya nekat juga akhirnya mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh mereka. Setelah itu, saya lanjutkan dengan membaca buku-buku tulisan mereka yang khusus membicarakan perkara kepenulisan dan tak lupa saya kunjungi blog-blog mereka yang sangat inspiratif, karena mereka memang termasuk blogger. Andrias di http://andriasharefa.com, Edy di http://ezonwriting.wordpress.com, dan Her Suharyanto di http://jurutulis.com

 
Perlu diketahui akhir-akhir ini, saya suka mengunjungi blog-blog yang beredar di dunia maya. Sebagian blog itu saya cari sendiri melalui google atau yahoo, dan sisanya hasil link dari blog-blog yang sudah saya kunjungi terlebih dulu. Mungkin karena sudah kompak untuk saling membaca, biasanya para bloger itu menyediakan link ke blog-blog lain yang mereka rekomendasikan yang mereka namakan blog teman atau blog tetangga. Menarik sekali memang. Satu blog terbuka, yang lain akan susul menyusul.

 
Karena blogging kemana kemari, baru-baru ini mentor saya bertambah satu lagi dalam kepenulisan. Beliau adalah Ersis Warmansyah Abbas. Belum lama ini, saya dikejutkan oleh satu blog dengan tajuk "Menulis tanpa berguru, http://webersis.com. Saya belum pernah bertemu muka. Pertemuan satu-satunya melalui dunia maya saja. Menurut saya, inilah blog yang paling getol membicarakan tentang menulis. Bahkan saya sempat berpikir jangan-jangan sudah terlalu getol. "Pokoknya tulis, " itu katanya.

 
Berbeda dengan Andrias dan Edy yang menganggap workshop atau kursus kepenulisan perlu, Ersis malah mempertanyakan apa perlu adanya workshop atau kursus menulis diadakan. Bagi dia kursus itu menghabiskan waktu dan uang saja. Bagi Ersis menulis ya menulis. Tidak ada cara belajar menulis kecuali menulis tiap hari. Terus menulis sebanyak-banyaknya. Tidak bisa menulis yang panjang-panjang, tulis yang pendek. Bahan tulisan tersebar di mana-mana.

 
Untuk membakar semangat, saya sempat terbakar tapi tidak sampai hangus, pikiran Ersis ini boleh juga dipakai. Saya dibuat gregetan membaca tulisan-tulisannya. Dan saya setuju bahwa teknik menulis adalah keterampilan yang dipelajari di SD. Andrias pernah mengatakan itu juga pada saya. Hanya saja mungkin, kita tidak boleh abaikan adanya fakta, ternyata banyak orang yang tidak bisa menulis padahal bahan yang akan ditulisnya bertumpuk-tumpuk. Ersis sendiri yang sering mengatakan bahwa dosen-dosen lebih senang memamerkan buku orang yang sudah dia baca, bukan buku yang dia tulis, padahal dia mampu bercerita di depan kelas berjam-jam. Kalau ia mau menulis apa yang dia ceritakan itu, berpuluh-puluh buku akan lahir di tangannya. Saya kira ini benar-benar menyinggung perasaan para intelektual. Mungkin sebagian bertobat dan terus menulis, dan sebagian lagi berdendam pada Ersis.

 
Kalau saya gabungkan pemikiran Ersis dengan pemikiran Andrias dan Edy, intinya sama. Ada overlappingnya. Workshop atau kursus yang dipandang perlu oleh Andrias dan Edy, ternyata memang bertujuan membangkitkan motivasi, bukan belajar menyusun kata menjadi kalimat dan seterusnya menjadi pargaraf. Dosen-dosen yang diceritakan Ersis sebenarnya memang tidak memerlukan pelajaran menulis dalam arti menyusun kalimat, melainkan perlu suntikan motivasi. Jadi saya pikir, kursus menulis sah-sah saja, sebagai wadah pembangun motivasi. Bagi yang melihat bahwa faktor motivasi merupakan ganjalannya selama ini, maka ikutlah kursus. Bagi yang sudah memilikinya, silakan langsung memulai. Kalau saya, kayaknya masih perlu motivator.

 
Apapun yang mereka katakan dan apapun perbedaan pendapat masing-masing, ketiga orang ini telah menginspirasi saya. Dari inspirasi itu, sayapun telah menjelajah ke blog-blog lain yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya bicara tentang kepenulisan. Fiksi dan non fiksi sudah bercampur aduk. Yang ilmiah, yang pop, yang gaul telah menjadi satu. Kini giliran saya untuk menyiapkan teori baru dalam kepenulisan yang saya namakan "QuantumWriting", he he he.

 
Orang lain boleh berteori, mangapa pula saya tidak boleh? Ingat, antara Quantum dan Writing, sengaja tidak pakai spasi, biar nampak gagah.

 
Sudah banyak buku yang menggunakan kata Quantum, tidak masalah. Tenang saja. Tak usah malu-malu. Sebagian besar yang terjadi di dunia tulis menulis adalah tiru meniru dan ekor mengekor. Yang penting tidak membajak. Quantum itu sendiri istilah yang diambil dari Fisika modern yang mengoreksi fisika klasik tentang energi. Fisika klasik melihat energi sebagai suatu yang kontinu (kontinum) yang bergerak semacam gelombang, sementara Fisika modern melihat energi sebagai suatu paket yang teputus-putus yang dipancarkan yang besarnya berbanding lurus dengan masa dan kecepatan berpangkat dua, yang disebut Quantum

 
Karena menulis ternyata bukanlah masalah keterampilan, melainkan masalah energi, maka tepatlah kalau teori ini dinamakan dengan Quantum juga. Seperti saya sampaikan tadi, sebelum ini telah banyak buku yang menggunakan nama kuantum (pakai huruf "k") untuk menunjukkan antara energi dan kecepatan. Karena masa tetap, maka energi akan berbanding lurus dengan kecepatan. Semakin tinggi kecepatan semakin tinggi energi yang diperoleh. Para penulis senior telah membuktikan hubungan yang sangat jelas antara kecepatan menulis dan energi motivasi. Motivasi yang tinggi meningkatkan kecepatan menulis berkali-kali. Demikian juga kecepatan menulis menaikkan energi motivasi. Semakin cepat semakin energik.

 
Formula dalam QuantumWriting tidak diambil dari satu dua orang penulis hebat. Teori ini diramu dari lebih sepuluh penulis-penulis yang mau berbagi kepenulisan mereka melalui blog-blog. Mereka telah menelorkan buku-buk best seller di bidangnya masing-masing sebagai bukti kepenulisan mereka. Tak perlu disebutkan satu persatu nama mereka di sini. Mereka di antaranya penulis fiksi dan sebagian non fiksi. Sebagian mereka adalah penulis ilmiah, penulis pop dan sebagian lagi penulis gaul. Di dalam QuantumWriting ada paket-paket kecil tulisan, persis seperti kuantum energi. Namun setiap paket itu berdaya ledak yang tinggi. Setiap paket berdiri sendiri. Walaupun pendek secara materi tetapi dikerjakan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ingat besarnya energi berbanding lurus dengan kecepatan berpangkat dua. Meminjam istilah Hernowo Hasim, teori ini adalah hasil pengikatan makna dari sejumlah teori.

 
QuantumWriting akan berisi metoda membangitkan semangat menulis dan metoda memproduktifkan tulisan. Formula ini diharapkan pula akan memberikan motivasi bagi para pencinta tulis-menulis dan memberikan metoda singkat dan padat bagaimana menjadi produktif dalam menulis. Semogalah lahir generasi yang yang akan membangun peradaban yang lebih baik di masa depan karena kita memulainya dari elemen asas membangun peradaban itu sendiri, yaitu menulis.

 
Anda ingin bisa menulis seperti penulis-penulis besar? Pelajari QuantumWriting! Selamat datang di dunia tulis-menulis yang menyenangkan. Para blogger, sila mengakses teori ini melalui http://batubertulis.blogspot.com

 
Bagaimana pendapat anda?

 
Wallahu a'lam.

 
 

Jumat, November 06, 2009

Sariawan dan menulis

Ternyata ada hubungan antara sariawan dengan menulis. Mau tahu? Hampir sejak seminggu yang lalu saya di serang sariawan. Posisinya tepat di tepi lidah sebelah kiri, luka memanjang. Kalau dipakai bicara, sakitnya bukan main, karena ia menggeser ke geraham kiri. Tapi kalau dibawa makan yang pedas, tak terasa apa-apa. Entah sariawan atau hanya luka bekas tergigit, saya tak tahu pasti.

 
Akibat sariawan, saya harus mengurangi frekuensi berbicara. Kalaupun saya paksakan, saya akan "mengaduh". Ada beberapa obat yang sudah saya coba, nampaknya tidak mempan. Padahal di sisi lain, saya tidak mungkin berhenti berkomunikasi, baik untuk keperluan pribadi ataupun keperluan pekerjaan. Terutamanya keperluan pekerjaan. Setiap pagi biasanya saya harus diskusi dengan kawan melalui telepon.

 
Sebagai konsekuensinya, saya harus menulis. Kini terpaksa pakai e-mail atau chating sebagai pengganti telepon langsung. Saya jadi teringat guru-guru menulis saya yang bersusah payah memaksa saya menulis dan menulis, namun tak menulis juga. Gara-gara sariawan saya jadi terpaksa menulis. Bahkan sekarang malah jadi susah menghentikannya. Ada-ada saja yang ingin saya tulis.

 
Tak disangka hal yang kelihatannya tak terkait, ternyata terkait erat: sariawan dan menulis.

 
Walaupun ada hikmahnya, saya tetap berharap sariawan saya sembuh juga. Do'akan ya!. Dan, Anda jangan sama sekali berharap kena sariawan dulu seperti saya untuk mulai menulis.

 
Bagiamana pendapat Anda?

 
Wallahu a'lam

 
 

Senin, September 29, 2008

Siapa bilang menulis itu gampang?

Bagi saya, walaupun menulis tak sesulit merancang pesawat Soyuz-19, tapi ia juga tak semudah memasang rantai sepeda buatan Belanda tahun 1920. Akhir-akhir ini, saya sering membaca pernyataan "Menulis itu gampang" dari banyak pihak, padahal dulu, beberapa tahun yang lalu, hanya Arswendo, penulis yang namanya tak asing lagi dalam dunia tulis menulis, yang berani menyatakan itu dalam bukunya Mengarang Itu Gampang. Kini, entah karena sungguhan atau karena latah, berbagai penawaran kursus atau pelatihan menulis , menggunakan trik "menulis itu gampang" untuk memancing pelanggan . Mungkin maksud mereka adalah untuk memotivasi dan memberitahu bahwa mereka punya cara khusus untuk menjadikan menulis itu gampang. Andrias Harefa, salah seorang diantaranya, ikut-ikut mengatakan "Menulis hanyalah keterampilan tingkat sekolah dasar", yang intinya tidak jauh berbeda dari pernyataan Arswendo bahwa menulis itu gampang.

Bagi yang tidak hati-hati, bisa terkecoh dengan kalimat-kalimat semacam itu. Bahkan, sebagian mungkin malah bisa terlena sehingga mereka merasa tidak perlu belajar lagi. Seseorang mungkin akan mengartikan bahwa jika sekarang dia sudah menjadi sarjana, dia tak perlu lagi belajar menulis.

Coba cermati siapa yang membuat pernyataan itu. Andrias Harefa atau Arswendo atau penulis populer lainnya, bukan? Bagi mereka mungkin benar bahwa menulis itu gampang. Mereka telah lama menjadi penulis professional. Mereka sudah punya jam terbang yang lama dalam dunia tulis menulis. Coba sekarang tanya kepada mereka cara membuat pesawat terbang. Apakah mereka berani mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang? Saya yakin mereka tak akan berani mengatakan demikian, karena mereka belum pernah belajar untuk itu.

Maksudnya, bagi mereka menulis itu gampang karena mereka telah sangat terbiasa untuk itu. Hal ini tentu tidak dapat diberlakukan pada semua orang. Untuk hal yang belum mereka biasakan, seperti membuat kapal terbang misalnya, bagi mereka pasti tetap sulit.

Sekarang coba tanya Habibie bagaimana cara membuat kapal terbang. Semua akan terkejut, termasuk Arswendo, ketika beliau menjawab, "Membuat pesawat terbang itu gampang." Sama dengan pernyataan Arswendo, pernyataan Habibie berlaku hanya untuk dirinya sendiri, yang sudah makan asam garam di sana.

Jam terbang dalam suatu bidang menentukan gampang atau tidaknya suatu pekerjaan. Bagi seseorang yang jam terbangnya sudah tinggi, maka tidak ada pekerjaan yang sulit. Semuanya gampang. Tapi bagi yang jam terbangnya sedikit, atau mungkin belum punya sama sekali, suatu pekerjaan akan terasa sulit. Itu wajar dan alamiah, tidak ada yang aneh.

Dulu sebelum saya bisa naik sepeda, berenang, menyetir mobil, mengetik dengan komputer seperti sekarang, semua pekerjaan itu bagi saya sulit. Tapi, karena didorong oleh motivasi bahwa saya harus bisa betapapun sulit, saya sekarang berani mengatakan bahwa bersepeda, berenang, menyetir mobil dan mengetik dengan komputer itu gampang sekali. Jam terbang saya sudah cukup meyakinkan itu gampang. Semakin sulit pekerjaan itu, semakin termotivasi saya mempelajarinya. Kalau dulu saya menggampangkannya, pastilah sampai sekarang saya belum akan menguasai semuanya itu.

Maksud saya, jangan sampai demi memicu seseorang untuk mempelajari sesuatu, kita menggampangkan suatu masalah. Alih-alih memicu semangat belajar, penggampangan malahan akan membuat seseorang menjadi malas belajar. " Ah, gampang kok".

Bagi saya menulis itu sulit. Buktinya, sampai hari ini masih berat rasanya untuk dapat menuliskan ide-ide dalam bentuk rangkaian kalimat. Kalau diucapkan atau bahkan dipidatokan tidak sesusah itu. Tapi, setiap mau dituliskan, ide itu lenyap begitu saja seolah-olah ide-ide itu tidak bersahabat sedikitpun dengan alat tulis saya. Baru saja saya memegang alat tulis, ide-ide yang tadinya banyak itu beterbangan tanpa ada sisa. Saya akhirnya hanya mampu membuat tulisan sepanjang beberapa kalimat atau paragraf yang pendek, setelah itu behenti.

Saya tidak sendirian. Saya mengenal orang-orang berpendidikan tinggi sampai ke tingkat doktor bahkan professor. Mereka tidak menulis setiap harinya, Satu-satunya karya mereka adalah berupa skripsi, tesis, atau disertasi yang mereka ajukan sewaktu memperoleh gelar akademis itu. Selepas itu, mereka tidak menulis lagi. Apakah orang-orang ini pantas dikatakan tak punya bahan untuk ditulis?

Padahal, banyak di antara mereka adalah tenaga-tenaga professional di berbagai bidang. Tenaga professional yang menerjunkan dirinya berpuluh-puluh tahun menangani sesuatu. Ada guru, dosen, insinyur, manajer, pebisnis, pendakwah, dll. Tak mungkin rasanya kalau dikatakan mereka tak punya cukup bahan untuk ditulis. Padahal untuk menulis fiksi, misalnya, yang diperlukan hanya sekedar imajinasi. Tak mungkin orang-orang ini tidak punya imajinasi. Saya yakin mereka memiliki ilmu dan pengalaman segudang untuk ditulis. Tapi, mengapa mereka belum bisa menuliskannya?

Kurang motivasi? Belum tentu. Beberapa di antara mereka sering mengatakan bahwa mereka ingin menulis. Mereka juga mengatakan iri dengan orang-orang yang pandai menulis.

Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan di atas hanya satu. Mereka belum pandai menulis. Mereka bukan tak ingin menulis. Mereka tidak bisa merangkai kalimat, mengubah apa yang ada dalam pikiran dan perasaan menjadi tulisan. Setiap mereka mencoba merangkainya, pikiran dan perasaan tadi menghilang dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja mereka tak punya kata -kata. Mereka diam seribu bahasa. Tapi, kalau disuruh menjelaskannya secara lisan, ide-ide itu bermunculan kembali.

Jadi, yang mereka belum kuasasi adalah menaklukkan jari untuk menulis, bukan menaklukkan lidah. Barangkali, jari mereka banyak tulangnya, sementara lidah sungguh tak bertulang.

Sebenarnya ketidakbisaan menulis itu tidak aneh. Seseorang pada dasarnya dilahirkan di bumi tanpa bisa apa-apa. Proses belajarlah yang membuat seseorang menjadi bisa kepada sesuatu. Jika orang-orang itu belum bisa menulis, karena memang mereka belum mempelajarinya. Kalau sebagian mereka sudah pernah mempelajarinya, mereka mungkin belum mebiasakan diri mengamalkannya. Sementara, menulis itu memerlukan pembiasaan. Jadi, wajar kalau mereka tidak bisa menulis.

Hanya saja ada orang-orang tertentu yang tetap berpegang dengan pernyataan bahwa menulis itu gampang. Menulis adalah keterampilan tingkat SD. "Saya sudah lama tamat SD". Mereka menggampangkan masalah. Akhirnya mereka merasa tak perlu belajar menulis lagi. Hari demi hari mereka hanya menunggu datangnya ide untuk ditulis. Merekapun tak menghasilkan apa-apa. Kalau waktu memperoleh gelar akademis, mereka berhasil menyelesaikan karya tulis mereka, mungkin karena waktu itu ada faktor pemaksa yang membuat mereka tak bisa lari.

Saya sendiri punya pandangan lain dalam hal ini. Karena adanya kesadaran bahwa menulis itu sulit, atau tidak gampang, maka saya masih memiliki motivasi untuk belajar menulis. Saya tidak peduli apakah menulis itu keterampilan tingkat SD atau tingkat universitas. Saya hanya tahu bahwa saya belum bisa menulis. Saya baru bisa bicara, dan kalau menulis, aduh minta ampun.

Jumat, September 05, 2008

Sedikit tentang istilah Sastra

Sastra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan dengan beberapa kata kunci, yaitu: huruf, kata, tulisan, kitab, pustaka, dan gaya bahasa. Dari kelima kata kunci tersebut, dapat kita pahami bahwa sastra pada intinya adalah karya tulis. Dari definisi tersebut, karya tulis yang paling sederhana adalah satu huruf. Ketika beberapa huruf disusun, jadilah satu kata. Selanjutnya, jika beberapa kata disusun, jadilah satu tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran, perasaan, atau informasi yang utuh. Lebih jauh lagi, kumpulan dari tulisan disebut kitab atau buku, dan kumpulan buku disebut pustaka.

Tulisan seperti yang dimaksudkan di atas bervariasi panjangnya tergantung dari panjangnya informasi atau gagasan yang akan disampaikan melalui tulisan itu. Tulisan yang paling pendek adalah tulisan berupa satu kalimat, karena dalam satu kalimatlah satu pikiran dapat dipahami dengan jelas, sementara satu kata dipandang belum cukup karena kata baru mewakili suatu makna. Dalam realitasnya, tulisan biasanya mengandung lebih dari satu kalimat, bahkan mengandung ribuan atau jutaan kalimat sesuai dengan luas dan rumitnya informasi atau pikiran yang disampaikan.

Agar tulisan yang terdiri dari banyak kalimat itu bisa dipahami dengan baik sesuai dengan maksud si penulis, maka kalimat-kalimat itu dikelompokkan di setiap satu unit pikiran yang disebut paragraf. Kemudian, paragraf disusun sedemikian rupa dalam satu alur berpikir yang logis dan runtut. Jadi jelas bahwa satu kalimat hanya mengandung satu pikiran, sedangkan satu paragraf hanya mengandung satu kelompok pikiran ( satu gagasan). Gagasan demi gagasan akan sambung menyambung membangun gagasan yang lebih luas dan komplek yang dinamakan wacana.

Demikianlah kita dapat melihat keterkaitan antara sebagian istilah-istilah yang selalu kita pakai dalam dunia tulis menulis, yang semuanya itu berada dalam satu paket yang dinamakan sastra. Memasuki dunia sastra itu berarti memasuki dunia tulis menulis. Mau tidak mau seorang peminat sastra mestilah akrab dengan semua istilah yang disebutkan tadi.

Adalah suatu kekeliruan berpikir jika ada yang membatasi sastra hanya pada cerpen, novel, atau puisi saja. Ketiganya memang termasuk sastra karena ketiganya itu merupakan hasil kegiatan tulis menulis. Tapi, sastra bukan hanya sebatas novel, cerpen atau puisi saja. Sesuai dengan makna istilah sastra yang kita bicarakan panjang lebar di atas, semua bentuk karya tulis, baik berupa prosa, puisi, essai, makalah, artikel, tesis, disertasi, surat, sajak, kata mutiara, kontrak, undang-undang, daftar riwayat hidup, dll adalah sastra. Media apapun yang dipakai untuk tempat menuliskannya, seperti kertas, batu,kayu, kain, tembok, CD,disket, flash disk, karya tulis itu termasuk sastra. Demikian juga, dalam format apapun ia ditulis, seperti lembaran, makalah, buku, tabloid, majalah, suatu karya tulis tetap disebut sastra.

Sekedar informasi, sastra tertua didalam peradaban manusia ditemukan tahun 5000 SM dalam bentuk batu bertulis, berupa kalimat yang disusun menggunakan huruf dan tatabahasa yang berlaku waktu itu.

Sekarang timbul pertanyaan. Kalau manusia bisa berkomunikasi dengan lisan, bahkan dengan isyarat, mengapa suatu pikiran atau perasaan itu harus dutuliskan? Dengan kata lain, mengapa harus ada sastra di dunia ini? Tak cukupkah, manusia hidup tanpa sastra?

Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa orang menuangkan ide berupa pikiran atau perasaannya dalam wujud tulisan. Kedua alasan itu kita pandang sebagai alasan mengapa sastra harus ada. Pertama, ide ditulis agar ide itu tidak hilang dimakan waktu. Manusia tahu, betapapun ide itu berasal dari otak, tapi otak itu tak mampu mengingat semua ide dalam jangka waktu yang lama. Terbukti, kalau suatu ide tidak segera dituliskan, dalam beberapa hari, ide itu akan sirna. Inilah alasan pertama sastra diciptakan.

Alasan kedua adalah agar ide itu dapat disampaikan ke pihak lain tanpa keduanya harus bertemu. Cara ini memungkinkan seseorang menyampaikan pesan kepada pihak lain melintasi gunung, gurun dan laut. Bahkan, cara ini memungkinkan manusia mewariskan nilai-nilai tertentu dari generasi ke generasi. Kita bisa lihat di sini, bahwa sastra merupakan darahnya peradaban manusia, karena melalui sastra, manusia membangun ilmu dan budayanya.

Ini berarti, banyak hal yang nantinya akan kait mengait dengan sastra. Mengikut kepada pengertian yang telah diuraikan, segala sesuatu yang terkait dengan sastra itu didefinisikan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kesastraan. Kesastraan, di sini, berarti meliputi ilmu sastra, sejarah sastra, sastrawan, aliran-aliran sastra, dll. Intinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan tulisan dan tulis menulis, merupakan kesastraan.

Bagaimana dengan sejarah? Apakah kajian sejarah adalah bagian dari kesastraan juga?

Yang jelas, sejarah memang memanfaatkan sastra tua, disamping benda-benda purbakala lainnya, dari suatu masa tertentu untuk menguak data berbagai peristiwa di masa itu . Sastra dijadikan bukti sejarah utama. Suatu masyarakat yang tidak meninggalkan dokumen tertulis sulit diungkap sejarahnya. Karena itu, sebagian besar pekerjaan para sejarawan adalah memeriksa dokumen-dokumen tertulis masa lalu dan menganalisisnya untuk membuat suatu interpretasi atau kesimpulan. Dengan demikian, berarti kajian sejarah termasuk dalam cakupan kesastraan juga. Jadi tidak aneh, kalau dii perguruan tinggi, jurusan sejarah biasanya memang dimasukkan ke dalam fakultas sastra.

Sekarang kita lihat satu masalah lagi yang ada kaitannya dengan istilah sastra. Istilah sastra dan kesusateraan sering dicampuradukkan dalam penggunaannya sehari-hari. Seolah-olah, sastra dan kesusateraan itu berpasangan. Padahal, keduanya sesuatu yang berbeda, dan sama sekali tidak berpasangan.

Kesusastraan berasal dari kata susastra, bukan dari kata sastra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, susastra adalah sastra yang isi dan bentuknya sangat serius berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian disusun dengan bahasa yang indah. Ini berarti bahwa susastra adalah sebagian dari sastra.

Menurut definisi di atas, susastra bermakna lebih sempit daripada sastra. Sastra tidak membatasi karya tulis dari segi bentuk, macam, dan bahasa yang digunakan dalam penyusunannya, sedangkan susastera membatasi cakupan pada karya-karya tulis dengan bahasa yang indah untuk mengungkapkan perasaan dan jiwa manusia yang memfokuskan pada estetika dan seni. Ini berarti, karya fiksi seperti puisi, cerpen, dan novel adalah susastra karena karya tulis itu mengekplorasi bagian terdalam jiwa manusia berupa persepsi, imajinasi, emosi, dll yang dikomunikasikan dengan maksud menyentuh jiwa pembacanya juga. Sementara tesis dan disertasi adalah sastra biasa, karena ia merupakan karya tulis umumnya.

Sejalan dengan pasangan istilah sastra dan kesastraan, segala yang berkaitan dengan susastra dinamakan kesusastraan. Lengkaplah temuan kita pasangan pengertian-pengertian yang sering dicampuradukan dalam pembicaraan sehari-hari. Pasangan sastra adalah kesastraan, sementara pasangan susastra adalah kesusastraan.

Lebih jauh dari sekedar pendefinisian seperti di atas, betapapun sastra dan kesastraan merupakan satu disiplin yang mandiri, ia tidak bisa terlepas dari kajian lain, walaupun kajian lain tersebut merupakan satu disiplin tersendiri. Misalnya, kajian sastra tidak bisa lepas dari kajian bahasa, karena dari kajian bahasalah kita tahu apa makna suatu kata, dan bagaimana aturan ketatabahasaan dalam menyusun kata-kata tersebut menjadi susunan yang lebih besar (frasa, klausa, kalimat, dan paragraf).

Sastra tidak bisa lepas dari kajian seni, khususnya seni retorika, karena pesan yang disampaikan oleh suatu tulisan harus sampai kepada pembacanya, bukan saja secara efektif tapi juga harus berkesan dan menimbulkan efek psikologis.

Bidang kehidupan lain seperti ekonomi, pendidikan, hiburan, keteknikan, politik dll tidak mungkin terlepas dari sastra dan kesastraan. Setiap bidang kajian itu biasanya memiliki konvensi tertentu terhadap suatu naskah tertulis yang diberlakukan dalam lingkungan masing-masing. Mau tak mau, sastra pun harus menyeruak masuk ke dalam berbagai bidang kehidupan tersebut.

Dalam menghasilkan karya-karya sastra, setiap sastrawan memiliki cara sendiri-sendiri dalam memilih dan menyusun kata sehingga menjadi suatu tulisan yang dapat dipahami si pembaca. Kemampuan yang dimiliki oleh orang perorangan sastrawan merupakan hasil proses pembiasaan menulis yang dilakukannya sesuai keadaannya masing-masing. Apa yang ditulisnya dan bagaiman sistematika penyusunannya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, agama, keyakinan, dan budaya si sastrawan itu sendiri. Inilah yang menimbulkan adanya macam-macam gaya, ragam, dan aliran dalam sastra. Semua gaya, ragam, dan aliran itu identik dengan sastrawan. Kiranya suatu yang aneh, jika kita mengkaji gaya, ragam dan aliran suatu sastra tanpa mengakaji kehidupan pribadi dan sosial dari sastrawannya.

Terakhir, kemampuan seorang sastrawan menghasilkan sastra yang baik dan bermutu merupakan proses pelatihan yang berkesinambungan.

Kemampuan seorang sastrawan memilih dan merangkai kata menghasilkan suatu tulisan yang jernih berkembang terus menerus sesuai dengan waktu sebagai hasil pembiasaannya. Pengetahuan tentang kata dan tatabahasa tidak menjadi jaminan untuk berhasilnya seseorang menghasilkan kalimat yang jernih. Masih diperlukan pelatihan yang terus menerus menuangkan berbagai pikiran ke dalam bentuk tulisan sehingga menulis menjadi mudah. Tapi, bagi yang belum terlatih dan memiliki kosa kata yang sedikit, mengungkapkan pikiran, perasaan, dan bahkan emosinya secara tertulis terasa sulit.

Pembiasan menulis berarti juga merupakan pembiasan berpikir jernih, terstruktur, dan runtut. Tulisan yang jernih dihasilkan oleh pikiran yang jernih, sebaliknya tulisan yang kacau dan rancu dihasilkan oleh pikiran yang kacau dan rancu. Berubahnya dari kacau ke jernih, merupakan hasil proses pembiasaan dan pelatihan. Pada awal pembiasaan menulis, seseorang mungkin akan banyak menemukan kalimat-kalimat yang kacau dan rancu dalam tulisannya, tapi lama-kelamaan, ia akan melihat kalimat-kalimat itu semakin jernih dan terstruktur sejalan dengan semakin jernih dan terstrukturnya pikirannya.


Selasa, September 02, 2008

Batu Bertulis

Mengapa blog ini saya beri nama Batu Bertulis?

Batu bertulis adalah dokumen tertua dalam sejarah manusia dalam berkomunikasi melalui tulisan. Walaupun mungkin satu dua kata, tulisan di batu bertulis itu berisi jutaan makna dan pesan. Tulisan itu telah melahirkan tak terbilang interpretasi di saat ini.

Dulu, batu itu ditulisi mungkin hanya sebagai catatan para ilmuawan atau bangsawan saja, biar apa yang terpikirkan dan terasakan oleh mereka pada saat itu dapat dimanfaatkan di hari-hari mendatang ketika otak tak sanggup lagi menghapalnya. Mungkin juga, batu itu ditulisi dengan maksud untuk membawa pesan, baik kepada kawan maupun lawan. Terbukti kini, tulisan-tulisan di batu bertulis itu, terbukti mampu untuk mengusung persaudaraan, melerai perselisihan, dan bahkan mampu untuk melumpuhkan perlawanan.

Budaya menulis kata di atas media apa saja belum selesai sampai hari ini. Bahkan budaya itu makin menjadi-jadi. Mungkin budaya ini tak akan pernah habis, karena terkait kepada eksistensi manusia itu sendiri. Saya tak tahu, kapan kita akan berhenti menulis kata, dan saya juga tak tahu apakah menulis kata dapat digantikan pada suatu ketika oleh melukis, menyanyi, atau menari.

Lihatlah, hari ini kita menulis dimana saja, bukan saja di batu seperti dulu, tapi kini di kertas, di baju, bahkan di paha atau bahu sendiri. Pernah melihat tulisan di cangkir, di piring, di tembok pagar, dan di dinding kakus? Itu semua menunjukkan kepada kita bahwa tak ada satu mediapun yang tak tergunakan untuk merekam pikiran dan perasaan manusia, atau sekedar untuk menyampaikan pesan, ingatan, dan pujian kepada orang lain. Apapun motifnya, semua media telah dimanfaatkan.

Panjang tulisanpun kini bermacam ragam, mulai dari satu huruf, misalnya huruf "g" yang dikirim melalui sms untuk mengatakan "tidak", sampai dengan puluhan kitab yang dijilid setebal bantal. Di alam digital sekarang ini lebih-lebih lagi, ternyata manusia menulis lebih rakus, baik sebagai catatan untuk diri sendiri maupun sebagai pesan untuk orang lain. Semua itu disebabkan oleh telah ditemukannya media yang memampukan manusia menenteng milyaran kata dan mengepitkan di kancing baju (maksudnya di simpan di fash disk). Tak ada batasan lagi. Tapi saya ragu, untuk apa semuanya itu.

Betapapun budaya dan teknologi tulis menulis telah berkembang begitu maju, saya tetap sangsi, apakah kata-kata bisa memprosakan segala-gala yang ada dalam sepak terjang manusia. Betapapun kata-kata memiliki kemampuan luar biasa mengungkap pikiran dan perasaan, namun kata tetap terbatas pada runag dan waktu. Mampukah kata merekam semua yang ada dalam pikiran manusia, baik fiksi maupun fakta? Mampukah kata mengungkit perasaan manusia kini, apalagi yang lama? Saya tak tahu, atau lebih tepatnya, saya ragu.

Saya tertarik dengan dunia tulis menulis, dunia sastra, gerbang dunia untuk untuk suatu perubahan. Saya juga tertarik dengan para pujangga, yang sangat mahir memintal kata. Bagaimana dengan anda? Pujangga, sastrawan, penulis ataupun nama lainnya tak mungkin terlepaskan dengan tulisan-tulisan itu sendiri. Tanpa mereka, tulisan-tulisan itu tak akan ada di dunia. Ribuan pujangga telah lahir ke dunia, datang dan pergi seirama dengan silih bergantinya zaman, dan meninggalkan karya untuk kita baca di hari ini. Ada pujangga melankolis yang bemain kata hanya untuk tema cinta, syahwat, dan nafsu keparat. Ada pujangga yang meracik kalimat untuk merekam temuan mereka dalam bidang sains dan teknologi. Ada pujangga yang bersih hatinya, jujur tulisannya, yang menginginkan dunia hari ini menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan sudah pasti, ada pujangga yang suka memaki carut marut dunia, menyebar fitnah dan dusta kemana-mana, menulis apa saja tak peduli apa reaksi orang padanya. Pokoknya, ada semua.

Inilah latar belakang saya melahirkan sebuah blog yang khusus menampung ide, gagasan, dan unek-unek tentang kata, sastra, dan punjangga . Di blog ini, saya berharap kita akan menggali dan memperbincangkan hakikat kata, mulai dari maknanya secara sendiri-sendiri sampai dengan beragam pesan yang bisa dikandungnya setelah kata itu berada dalam susunan berupa frasa, klausa, kalimat, alinea, sampai wacana. Kita akan memperkatakan gaya dan ragam penuturannya. Retorika? Ya, tentu saja. Jangan lupa, kita akan ungkit pula sejarahnya sejak zaman purbakala, dan kita akan gunjingkan misterinya sampai nanti, saat manusia tak sanggup berkata-kata lagi.

Yang terakhir, ini rahasia kita berdua. Jangan bilang siapa-siapa. Di blog ini, kita juga akan membicarakan , apakah sastra, tulis menulis, atau apa saja istilahnya, dapat mendatangkan sedikit tambahan rizki untuk membeli kertas dan pena. Kalau perlu, kita bicarakan juga kemungkinannya untuk membeli mobil atau pesawat terbang. Bukan untuk bermewah-mewah, tapi agar kita bisa keliling dunia mencari inspirasi bahan tulisan kita itu sendiri . Ah, capek deh! Yang terpenting agar dengan kajian kata, sastra, dan punjangga, kita bisa memberi guna dan manfaat untuk bekalan dunia dan di akhirat. Wallahu a'lam!