Satuan terkecil suatu bahasa adalah kata, dan satuan terkecil suatu tulisan adalah kalimat. Mengapa kalimat? Karena kalimatlah yang dapat memberi informasi yang utuh dari satu pikiran penulis kepada pembaca. Kata memang mempunyai makna yang terhubung kepada sesuatu yang maujud dalam pikiran, tapi ia belum memberikan informasi secara utuh kecuali setelah kata tersebut tergandeng dengan kata lain membentuk satu susunan yang khas yang dinamakan kalimat.
Ketika kita memasuki pembicaraan tentang tulis menulis, maka kita tidak bisa menghindar dari membicarakan perihal kalimat. Saya menganggap pembicaraan tentang kalimat sangat penting walaupun sebagian orang mungkin menganggapnya terlalu dasar yang layak dibicarakan di kelas bahasa, bukan di kelas sastra.
Sementara, kita lupakan saja anggapan itu. Bagaimana mungkin kita bisa menghindar dari topik ini karena secara faktual saya sering menemukan penggunaan kalimat yang salah secara tata bahasa, alias rancu, dalam berbagai tulisan baik di buku, koran, majalah, dan lebih-lebih lagi di blog. Kehadiran kalimat rancu telah melenyapkan kelezatan tulisan itu seluruhnya, bagaikan kehadiran pasir dalam nasi. Kalimat rancu itu memaksa saya harus menebak-nebak apa yang ingin disampaikan oleh penulis karena menimbulkan persepsi ganda dan keletihan di otak. Biasanya, setelah melewati dua atau tiga paragraf pertama, saya enggan melanjutkan membaca tulisan itu. Belum apa-apa, sudah dipenuhi kalimat rancu. Lebih baik, saya pindah ke bacaan lain daripada berlama-lama di suatu tulisan yang membosankan.
Dulu, saya pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa kepatuhan kepada tata bahasa dalam membangun kalimat hanya berlaku bagi penulisan karya non fiksi. Karya fiksi, seperti cerpen dan novel, katanya tidak perlu ikut aturan tata bahasa. Katanya lagi, karya fiksi tidak mengapa menggunakan kalimat rancu yang tidak mematuhi kaidah tata bahasa. Kata mereka, fiksi adalah kebebasan dan kreasi keindahan.
Benar, tapi...? Benarkah kerancuan identik dengan kebebasan dan keindahan? Di mana ya, indahnya tulisan yang amburadul? Sejauh ini, saya justru melihat sebaliknya . Semakin tertib dan benar tulisan itu secara tata bahasa, semakin indah dan enak dibaca. Ini tidak hanya berlaku untuk non fiksi, tapi juga fiksi.
Sebenarnya, kaidah tata bahasa bukanlah seperti hukum atau undang-undang sebuah negara yang bisa memenjarakan orang. Kaidah tata bahasa hanyalah aturan logika manusia, cara kerja otak dalam berbahasa. Bila kita menulis tanpa mengikuti kaidah itu, tulisan kita hanya tidak akan dipahami dengan baik oleh pembaca dan pasti tidak akan menarik. Melanggar aturan tata bahasa, memang, tak akan seberat melanggar aturan negara. Tapi, tak seorangpun penulis boleh melanggar aturan itu dalam berbahasa, lebih-lebih lagi dalam bahasa tulis.
Melalui pembahasan ringkas di bawah ini, mari saya akan membawa anda menyelam sedikit masuk ke dalam ke ruang tata bahasa untuk melihat seperti apa bangun kalimat yang dinyatakan benar dan efektif menurut kaidahnya. Pembahasan ini mungkin sedikit akan agak teoritis, tapi tidaklah mengapa asalkan kita bisa memperoleh basis yang kuat dalam membuat satu tulisan yang menarik dan efektif setelah teori ini dipahami.
BANGUN DASAR KALIMAT
Sebagai permulaan, perhatikan contoh susunan kata berikut ini. Secara fisik , susunan kata-katanya memang dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, layaknya sebuah kalimat. Tapi, perhatikan apakah ia betul-betul kalimat?
- Pergi.
- Gubernur Jakarta.
- Anak yang baru lahir.
- Di mana saja.
- Bagi yang menitip sepeda motor harus dikunci.
- Menurut ahli hukum menyatakan bahwa ekonomi indonesia segera bangkit.
- Di jakarta memiliki pusat perdagangan terbesar di asia.
- Dan keadaan ini menjadi kacau balau.
Semua susunan kata di atas bukan kalimat, karena tidak ada pikiran utuh yang dapat ditangkap darinya. Susunan kata-kata di atas tidak memberikan informasi apa-apa. Karena tujuan menulis itu adalah mengimformasikan sesuatu yang ada dalam pikiran kita secara jernih dan jelas sehingga lahir persepsi atau imajinasi yang tepat di pikiran pembaca, maka tidak satupun susunan kata di atas boleh digunakan dalam tulisan.
Keutuhan informasi atau pikiran hanya bisa dicapai apabila suatu susunan kata membentuk pengutuban yang disebut ruas. Susunan yang membentuk pengutuban ini disebut kalimat. Harus ada dua kutub atau dua ruas dalam satu kalimat yang berfungsi seperti kutub utara dan kutub selatan pada planet, atau seperti proton dan elektron dalam atom. Ruas pertama adalah ruas yang berisi apa yang akan kita ingin informasikan. Ruas ini disebut pokok kalimat atau pokok pembicaraan yang dalam tata bahasa secara resmi disebut subjek. Ruas kedua mengandung informasi tentang keberadaan, keadaan atau kegiatan subjek. Ruas kedua ini, dalam tata bahasa di sebut predikat. Dengan adanya dua ruas inilah, satu kalimat memiliki kejelasan bagi pembaca. Dalam ke delapan contoh susunan kata di atas, tidak ada pengkutuban., bukan? Tidak ada subjek dan predikat.
Pada dasarnya, subjek bisa berupa sebuah kata saja atau kelompok kata yang dinamakan frasa atau anak kalimat. Predikatpun bisa berupa sebuah kata atau kelompok kata ( frasa, atau anak kalimat). Karena harus terjadi pengutuban, maka satu kata saja belum cukup untuk menghasilkan kalimat. Minimum diperlukan dua kata. Harus ada kata yang menempati ruas subjek dan ada kata yang menempati ruas predikat.
Saya sering melihat hubungan logis subjek-predikat antara dua kata ini sama seperti hubungan suami-istri. Seseorang hanya dapat disebut sebagai suami bila ada orang lain yang dapat disebut sebagai istrinya. Demikian juga sebaliknya. Suatu kata atau satu kelompok kata tanpa predikatnya, bukan subjek namanya. Demikian juga, satu kata atau kelompok kata tanpa subjeknya, bukanlah predikat.Kembali kepada contoh-contoh di atas. Semua contoh susunan kata di atas tidak dapat disebut kalimat karena susunan itu tidak menampakkan ruas subjek dan ruas predikat.
Sebagai bandingan, susunan kata pendek seperti ini ibu justru adalah kalimat. Walaupun hanya terdiri dari dua kata, kata pertama, ini, menempati ruas subjek dalam pikiran kita, dan kata kedua, ibu, menempati ruas predikat. Sebaliknya, susunan kata yang mungkin terdiri dari dua kata atau lebih, seperti ibu saya, menulis buku, buku untuk kawan, bukanlah kalimat. Kata-kata itu tidak membentuk ruas-ruas subjek-predikat. Susunan itu tidak memberikan informasi apapun.
Dalam tata bahasa, susunan seperti ibu saya, menulis buku, buku untuk kawan, dinamakan frasa, bukan kalimat.
Mudah untuk menghafalkan teori ini. Namun, dalam praktek, masih banyak yang menulis kalimat tanpa pernah menyadari yang mana subjek dan yang mana predikatnya. Tiba-tiba saja ia sudah menulis puluhan kata yang saling berangkai panjang. Tapi sayang, tidak ada subjeknya, dan pasti tidak ada predikatnya, sehingga tak satupun pikiran yang tersampaikan melalui rangkaian itu.
Sebelum kita lanjutkan pembahasan mengenai bangun kalimat yang tidak sama dengan bangun frasa, kita akan membahas terlebih dulu isu tentang kata dan pembagian kelasnya. Kita kemudian akan beralih pada pembicaraan tentang frasa. Ini penting karena dari sinilah titik tolak pembahasan kita tentang kalimat. Selamat mengikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar