Senin, Oktober 20, 2008

Struktur Wacana

Setelah Ratu Balqis mengetahui kekuatan Sulaiman di Jerussalem, dan melihat betapa terancamnya dia yang berada di satu tempat yang tidak begitu jauh dari sana, Balqis mengirimi Sulaiman hadiah-hadiah. Tak seorangpun yang pernah menjelaskan apa maksud hati Balqis dengan hadiah-hadiah itu. Kita hanya bisa menebak bahwa itu tak jauh dari maksud hati sebagian besar kita ketika mengirimi orang-orang penting dan kaya dengan hadiah. Sulaiman hanya tersenyum dan tak mengambil hadiah-hadiah itu. Tanpa marah, Sulaiman kemudian mengutus seseorang untuk mengembalikan hadiah-hadiah itu bersama selembar surat.

Guncanglah hati Ratu Balqis yang cantik itu. Bukan karena hadiah-hadiahnya yang dikembalikan itu, juga bukan karena sang utusan, tapi karena isi surat dari Sulaiman. Surat itu telah menggetarkan jiwa Balqis, padahal tidak banyak yang ditulis Sulaiman di dalamnya kecuali nama Tuhan dan undangan agar Sang Ratu datang menghadapnya. Namun, kalimat yang pendek itu ternyata sarat dengan makna. Kalimat-kalimat Sulaiman telah mengoyak dada Balqis dan membuatnya takut sehingga tak sanggup lagi mencari alasan untuk tidak memenuhi undangan itu.

Inilah kehebatan sebuah wacana tulis. Secara fisik, wacana hanya terdiri dari selembar kertas yang di atasnya bertuliskan sesuatu. Bukan tulisan itu yang menakjubkan, tapi apa yang dikandung dalam rangkaian kalimat-kalimat itu. Balqis tahu, bahwa surat dari Sulaiman bukan sembarang wacana, tapi sebuah wacana yang berisi pikiran seorang penguasa yang tak terkalahkan di dunia dan mengatasnamakan Tuhan yang lebih-lebih tak tekalahkan lagi kuasaNya.

Wacana adalah satu bangun karangan yang utuh. Unsurnya yang paling kecil adalah kalimat. Kemudian, beberapa kalimat disatukan untuk menjelaskan satu ide tertentu yang disebut paragraf. Paragraf demi paragraf kemudian dirangkai-rangkai membahas satu tema tertentu dalam satu wilayah pembahasan yang disebut topik. Bentuk terakhir inilah yang dinamakan wacana.

LAHIRNYA SEBUAH WACANA

Wacana bermula dari satu ide atau pikiran yang muncul di otak penulis. Bersamaan dengan munculnya pikiran tersebut, penulis kemudian menemukan satu kata yang maknanya berkorelasi langsung dengan apa yang ia pikirkan. Penemuan kata yang maknanya terkait dengan apa yang sedang dipikirkannya itu merupakan cikal bakal lahirnya sebuah wacana; ada pikiran dan ada kata untuk sebagai simbolnya. Jika hanya ada pikiran saja namun ia tidak menemukan satu katapun maka tidak akan lahir wacana.

Satu kata tidak cukup. Jika kemudian si penulis menemukan kata yang lain dan si penulis dapat menuliskan rangkaian kata berbentuk kalimat, maka si penulis telah memasuki langkah kedua pembuatan wacana. Langkah kedua itu adalah merangkai kata menjadi kalimat. Dalam rangkaian itu ada subjek dan ada predikat. Dengan susunan itu lahirlah informasi yang siap untuk dibaca.

Bila suatu kalimat belum cukup, beberapa kalimat tambahan dapat disusulkan untuk menjelaskan lebih jauh ide dari kalimat pertama tadi, sehingga sekarang terbentuklah rangkaian kalimat yang dinamakan paragraf. Demikianlah seterusnya terjadi berulang-ulang: lahir kalimat baru, paragraf baru, dan akhirnya satu tema akan dituntaskan pembahasannya apabila telah terbangun beberapa paragraf yang berada sekeliling tema itu. Bagian terakhir inilah yang dinamakan wacana.

Kalau kita hanya melihat dari sisi kata dan susunannya saja, wacana yang satu hanya akan berbeda dengan wacana lain ditinjau dari pilihan kata dan struktur kalimat saja. Walaupun pada wujudnya wacananya hanyalah rangkaian kata-kata, namun kita tidak cukup melihat di sisi itu saja. Wacana adalah rangkaian pikiran bukan rangkaian kata. Karena itu terdapat sejumlah pembeda antara satu wacana dengan wacana yang lain yang tidak akan terlihat bila dari sudut bahasa saja. Banyak aspek yang harus dilihat.

Berikut ini, saya akan membawa Anda menelusuri satu persatu aspek tersebut untuk melihat secara dalam suatu wacana sehingga kita dapat mempersiapkan diri melahirkan suatu wacana yang bermutu.

ANTARA TOPIK, TUJUAN, DAN TEMA

Aspek pertama dalam melihat suatu wacana adalah topik. Setiap wacana mempunyai topik atau wilyah kajian, yaitu suatu ruang pikiran yang lebih luas yang menaungi apa yang dibahas dalam wacana. Semakin sempit wilayah kajian yang dinamakan topik itu, semakin tajam pembahasan wacana. Unsur terpenting wacana ini harus ada sebelum menulis. Kalau tidak, proses penulisan wacana akan lari ke berbagai topik sehingga tidak ada satupun yang tajam pembahasannya. Wacana yang tidak bermutu adalah wacana yang topiknya luas tapi dangkal pembahasannya. Jika sebelum menulis, topik telah jelas dan spesifik maka seluruh daya dan pikiran penulis akan terarah.

Penulis harus punya misi atau tujuan dalam menulis wacana. Bagaikan menembak, mesti ada sasarannya sebelum perangkat menembak disiapkan. Kalau Anda akan menembak babi, Anda akan menyiapkan perangkat yang berbeda dengan kalau Anda akan menembak burung.

Tujuan penulisan wacana akan terbaca jelas dalam wacana itu betapapun tidak disebutkan secara eksplisit oleh penulisnya. Seseorang yang tujuannya menumbangkan suatu kebiasaan buruk masyarakat akan berbeda isi dan teknik-teknik penulisan wacananya dengan orang yang tujuannya hanya untuk menghibur dan mencari popularitas. Seseorang yang tujuannya menjual sesuatu berbeda tulisannya dengan orang yang menulis untuk mengajak seseorang menuju kebenaran. Dari tujuan inilah satu wacana berbeda dengan wacana lain.

Tema adalah ringkasan wacana itu sendiri yang dirumuskan dalam satu kalimat yang lengkap. Tema bagaikan lokomotif yang akan menarik gerbong-gerbong yang dibuat kemudian. Semua gerbong yang akan ditempatkan di belakang lokomotif harus sesuai dan serasi dengan lokomotifnya. Itulah tema. Seseorang yang sudah paham dengan apa yang akan dia tulis, harus mampu menuangkan tema ini dalam bentuk kalimat yang mencakup sekaligus tujuan penulisan.

DATA : ANTARA FAKTA DAN FIKSI

Wacana mengandung data. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah data-data itu sesuatu yang benar-benar ada ataukah hanya sebuah rekaan penulis. Minyalnya saya menulis nama seseorang, sebut saja Ahmad, dalam wacana saya. Apakah si Ahmad ini benar-benar ada atau hanya tokoh rekaan saya saja? Kalau benar-benar ada, berarti data itu merupakan fakta. Bila si Ahmad itu hanya hasil reka-rekaan, fantasi, atau ilusi saya saja, data itu itu fiksi.

Perbedaan antara wacana fiksi dan non fiksi adalah dari segi data ini. Sebuah wacana yang diklaim sebagai non fiksi harus bisa dipertanggungjawabkan oleh penulisnya bahwa semua data yang dimasukkan ke dalam tulisan itu seluruhnya fakta. Jika ada saja unsur yang fiktif dalam suatu wacana, walaupun ada juga faktanya, tulisan itu mesti dikelompokkan ke dalam jenis fiksi. Bahkan jika ada fakta yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, tulisan itu masih digolongkan tulisan fiksi.

Perbedaan tulisan ilmiah dan susatra adalah perbedaan jenis data yang dimasukkan dalam wacana. Tulisan ilmiah tidak boleh memasukkan data fiktif. Semuanya mesti fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah yang telah baku metodologinya. Tulisan susastra, justru sengaja memasukkan unsur fiktif, baik tokoh, tempat, dan waktu sehingga ia tergolong fiksi.

Orang-orang tertentu sering keliru melihat bila disebut novel atau cerpen, cendrung mengatakan bahwa itu fiksi. Padahal fiksi atau tidaknya suatu wacana tidak tergantung dari topik, tema, judul, format, ragam bahasa suatu wacana. Fiksi atau tidaknya suatu wacana tergantung dari data-data yang diungkapkan.

SUDUT PANDANG: ANTARA OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF

Selain data, di dalam wacana ada sudut pandang penulis. Ada yang subjektif dan ada yang objektif. Suatu wacana dibedakan antara wacana yang menggunakan sudut pandang objektif dan sudut pandang subjektif. Objektif, maksudnya, siapapun yang menulisnya, kira-kira hasilnya akan sama. Subjektif akan berbeda-beda sesuai penulisnya.

Essai singkat yang sering dimuat di surat kabar yang sering disebut opini adalah wacana dengan sudut pandang sangat subjektif. Makanya ia sering dinamakan opini. Maksudnya, di dalam tulisan itu si penulis menggunakan pendapatnya sendiri secara bebas. Sebaliknya dalam skripsi atau disertasi sudut pandang yang subjektif ini dihindari. Si penulis harus memandang suatu masalah dari sudut yang sama dengan penulis lain yang sudah disepakati dalam etika keilmuannya. Sudut pandang inilah yang disebut sudut pandang objektif.

Walaupun dalam tulisan ilmiah tidak bisa dihindari adanya sudut pandang subjektif, tapi si penulis harus berusaha untuk memisahkan bagian-bagian yang merupakan sesuatu yang objektif berupa hasil-hasil penelitian dan interpretasinya menurut sudut pandang baku dan unsur-unsur subjektif berupa opini penulis. Kualitas keilmiahan suatu wacana terletak pada tingkat objektifitas sudut pandang dan keterpisahan unsur-unsur yang objektif dan subjektif.

Tulisan susastra, sebaliknya, karena tujuannya bukan mengungkapkan fakta, unsur objektif dan subjektif tak dapat dipisahkan lagi. Semuanya tercampur. Bahkan hampir keseluruhan isi karya susastra berasal dari sudut pandang subjektif, walaupun dalam karya tersebut si penulis menggunakan tokoh orang ketiga.

BAHASA: ANTARA RESMI DAN PERSONAL

Suatu wacana ditandai dengan ragam bahasa yang dipakai. Ada wacana yang menggunakan ragam bahasa resmi seperti disertasi, tesis, skripsi, makalah-makalah, proposal, dll. Ada pula wacana yang ditulis dengan ragam bahasa personal seperti surat pribadi, buku harian, cerpen, novel, dll.

Tulisan susastra cendrung menggunakan ragam bahasa personal karena karya tersebut ingin menyentuh hal-hal yang sangat personal seperti perasaan dan emosi. Kalimatnya pendek-pendek. Paragrafnya kadang-kadang hanya satu atau dua kalimat. Kata-kata yang dipakai cendrung mengandung makna konotasi. Bahkan dalam menggambarkan sesuatu, karya ini banyak menggunakan kiasan sebagai pembanding.

Tulisan ilmiah atau akademis cendrung menggunakan kalimat yang panjang-panjang dan paragra yang terdiri dari banyak kalimat. Pemilihan katanya sangat hati-hati agar tidak mengandung konotasi. Berbagai istilah serapan lebih sering digunakan agar lebih mudah dipahami oleh kalangan yang terbatas.

Tulisan jurnalistik menggunakan ragam bahasa di antara keduanya. Ketika tulisannya menyentuh hal-hal yang serius, penulis jurnalistik cendrung menggunakan kalimat yang panjang dan kaku, tapi ketika pembahasan mengarah kepada hal-hal yang santai dan jenaka, penulis menggunakan bahasa personal yang akrab. Tidak jarang ada bagian yang menggunakan bahasa gaul.

SISTEMATIKA: ANTARA BAKU DAN BEBAS

Karya-karya seperti tesis dan disertasi harus mengikuti suatu sistematika yang sudah baku. Ada bab pendahuluan , ada bab tinjauan teori, ada bab analisis data, ada bab interpretasi dan opini, dan ada bab kesimpulan dan saran. Setiap babpun telah ditetapkan kandungan-kandungannya masing-masing. Selain itu, ada pula ketentuan membuat daftar isi, daftar gambar, daftar pustaka dan indeks. Semua sistematika itu telah ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang yang tidak boleh dilanggar.

Wacana yang tidak memiliki sistematika baku tertentu, biasanya berlaku pada tulisan susastra. Sistematika itu lebih cendrung mengikuti kehendak pasar. Karena itu selalu ada kreatifitas penulis dalam menentukan sistematikanya. Penulis susastra selalu berekperimen menemukan sistematika yang laris-manis di pasar.

MODUS

Walaupun isi wacana beragam, ada beberapa modus yang mencirikan kandungan suatu wacana. Modus ini dikaji oleh para ahli untuk mendapatkan suatu teknik terefektif dalam menciptakan modus tersebut dalam tulisan. Modus-modus yang terkenal itu adalah modus deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi dan persuasi. Semua modus memiliki tujuan dan pendekatan yang berbeda-beda.

Modus deskripsi berisi gambaran atas sesuatu secara visual. To describe artinya melukis sesuatu dengan kata-kata. Jadi, deskripsi bagaikan sebuah lukisan atau gambaran sesuatu yang langsung dapat diimajinasikan oleh pembaca. Beda antara deskripsi dan luskisan bentuk dan warna terletak pada bahwa dalam deskripsi digunakan rangkaian kata. Deskripsi harus dibaca untuk mendapatkan imajinasi. Dengan membaca, seseorang dapat memvisualisasikan sesuatu bagaikan menonton sebuah video. Lihat contoh berikut ini.

Sore itu udara sepanas kue bika yang belum lama dikeluarkan dari panggangannya. Udara yang panas itu bertiup ke arah Damhuri. Sejenak terlihat janggutnya yang berwarna kemerahan melambai. Damhuri duduk termenung di korsi rotan yang sudah reot, sambil memegang selembar kertas.

Modus narasi berisi cerita, kisah atau story. Narasi artinya mengisahkan sesuatu. Pembaca dibawa ke dalam episode-episode yang tersusun dengan urutan waktu yang dinamakan plot. Ada plot maju dan ada plot mundur mengikut gerakan waktu. Apapun plotnya, dalam narasi penulis menjelaskan suatu kejadian berdasarkan satuan waktu. Baca contoh berikut ini.

Setelah saya selesaikan penulisan surat itu sampai paragraf terakhir, komputer saya tinggalkan begitu saja, dengan maksud kalau saya nanti kembali, saya dapat menyelesaikan keseluruhan surat itu hingga tercetak. Saya berdiri menuju ke luar kantor yang berada di lantai lima. Tak lama setelah itu, sayapun sudah sampai di lantai dasar setelah menggunakan lift yang cukup cepat. Saya kemudian menuju masjid. Di pintu masjid, saya menitipkan sepatu, dan masuk ke kamar wuduk. Belum lagi saya membuka kran wuduk secukupnya, HP sayapun berdering.

Modus ekposisi berisi penjelasan tentang sesuatu. Eksposisi artinya menerangkan sesuatu secara jelas. Agar jelas, semua informasi biasanya difokuskan kepada sesuatu yang dianggap perlu: kepentingan, keutamaan, keklimaksan, dll. Adakalanya penulis membuat definisi sesuatu konsep atau membuatkan klasifikasinya. Kadang kala penulis membuat perbandingan dengan sesuatu yang lain baik persamaan ataupun perbedaannya. Dalam eksposisi, penulis kadang-kadang menjelaskan hubungan sebab-akibat atau hubungan runtutan dari dua hal yang berbeda. Berbeda dengan deskripsi yang hanya menyentuh unsur-unsur visual saja, eksposisi menyentuh unsur-unsur yang lebih beragam seperti contoh berikut ini.

Ada dua sebab para pengarah enggan merujukkan rencananya ke atasannya. Pertama: dia takut kalau atasan tak setuju sehingga ia harus membuat rencana baru lagi yang tidak sedikit memakan waktu dan energi. Kedua: dia takut kalau rencana itu sukses, yang naik namanya adalah atasan itu, bukan dia.

Modus argumentasi berisi pembuktian atas suatu pernyataan. Argumentasi sendiri artinya menaklukkan keyakinan seseorang. Biasanya penulis mengungkapkan lebih dulu pernyataan yang akan diuji kebenarannya itu. Dengan menyebutkan sejumlah bukti, penulis kemudian menarik suatu kesimpulan benar atau tidaknya pernyataan tadi. Jadi, dalam argumentasi selalu ada premis, bukti dan konklusi. Tingkat kebenaran bukti-bukti harus tidak boleh diragukan pembaca karena akan mempengaruhi keabsahan argumentasi itu sendiri. Argumentasi juga harus mengikuti suatu nalar tertentu. Yang berikut adalah contoh argumentasi.

Sistem pemilihan kepala daerah berjenjang tiga seperti sekarang menelan biaya politik yang sangat mahal yang akhirnya dapat meruntuhkan sendi-sendi sosial yang sedang diperjuangkan melalui sistem demokrasi. Satu pemilu di tingkat kota saja telah menelan biaya puluhan milyar rupiah. Coba bayangkan bila setiap kota dan kabupaten mengadakan pemilu pemilihan kepala daerahnya, sementara jumlah kota dan kabupaten di Indonesia lebih dari dua ratus. Selain itu, negara masih harus menanggung biaya pemilu kepala daerah untuk tingkat propinsi yang jumlahnya hampir empat puluh. Masih belum selesai, negara mesti menyelenggrakan lagi pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden yang biaya tak mungkin lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemilu tingkat kota.

Modus persuasi berisi ajakan. Persuasi sendiri artinya membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu dengan senang hati bukan terpaksa. Jadi dalam persuasi, si penulis harus menunjukkan hal-hal yang meyakinkan pembaca agar ia senang melakukan yang diajakkan itu. Biasanya, persuasi dimulai dengan menunjukkan masalah yang ada kemudian dilanjutkan dengan tawaran penyelesaian masalah. Persuasi biasanya juga menunjukkan sejumlah bukti-bukti yang membuat pembaca tertarik untuk melakukan tindakan. Persuasi harus berakhir dengan suatu ajakan kepada penyelesaian masalah. Dalam persuasi lebih diutamakan unsur emosional agar persuasi memiliki daya dorong yang kuat. Perhatikan contoh berikut.

Sebenarnya ketombe yang sedang berjangkit sekarang, kalau dibiarkan, bukan saja akan merontokkan rambut kita, tetapi dapat mengelupaskan kulit kepala karena ketombe itu termasuk jenis langka dan berbahaya. Tapi, beruntunglah, seorang ahli telah menemukan solusinya berupa sebuah ramuan yang dapat membersihkan semua ketombe itu tanpa ada sisa sebesar debu sekalipun. Andapun tak perlu merusak anggaran biaya rumah tangga karena membelinya, sebab harga ramuan itu tak lebih mahal dari sekantong pisang goreng. Tunggu apalagi? Belilah sekarang sebelum ramuan itu habis dan anda terpaksa menjual rumah untuk mengganti kulit kepala yang mengelupas.

Pada tingkat paragraf, kita hanya mungkin menggunakan salah satu bentuk tersebut. Tapi, dalam tingkat wacana, kita selalu menggunakan modus campuran. Kita memilih salah satu bentuk modus sebagai modus utama wacana kemudian kita menggunakan modus-modus lain sebagai pengisinya. Maksudnya di dalam wacana yang argumentatif, bisa kita gunakan sebagian paragrafnya bersifat naratif, deskriptif, atau expositif. Demikian juga dalam wacana naratif, sering ditemukan paragraf yang melukiskan sesuatu (narasi), menjelaskan sesuatu (eksposisi) atau mendebat sesuatu (argumentasi.)

JUDUL, BAGIAN PEMBUKA, DAN BAGIAN PENUTUP.

Ada tiga bagian dalam wacana yang bukan isinya, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu judul, bagian pembuka, dan bagian penutup.

Judul wacana tidak dapat dipandang remeh. Banyak dari kita tertarik untuk mulai membaca karena terprovokasi oleh judul. Walaupun judul belum mencerminkan isi wacana itu, suatu wacana mesti diberi judul. Judul akan mengantarkan pembaca memasuki ruang wacana yang lebih luas. Judul adalah gerbangnya. Bila gerbangnya tidak menarik, pembaca enggan masuk dan memilih pindah ke rung yang lain.

Bila wacana dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil seperti bab, fasal, dan subfasal, setiap bagian itu harus diberi judul. Karena setiap bagian memiliki tema tersendiri, untuk tulisan Ilmiah, judul-judul diambil langsung dari tema bagian-bagian itu. Sementara itu, untuk wacana susastra, judul tidak perlu harus sama dengan tema. Untuk susastra, yang penting adalah daya pikatnya. Judul untuk susastra biasanya menggunakan kata atau frasa yang menimbulkan keingintahuan pembaca.

Bagian pembuka suatu wacana berfungsi untuk mempersiapkan pikiran pembaca sebelum memasuki isi wacana. Terus atau tidak terusnya orang membaca wacana tergantung sekali pada bagian pembuka ini. Sebagai pembuka, bagian ini berperan menyiapkan mental spriritual pembaca untuk menerima isi wacana yang akan disampaikan penulis. Itulah sebabnya, bagian ini mesti menarik perhatian pembaca. Bagian ini harus mampu menghentikan pikiran pembaca ke bidang lain sehingga dia bertekad untuk menyelesaikan bacaannya.

Bagian pembuka yang telalu singkat tidak cukup mampu membuka jalan pikiran pembaca. Sebaliknya, pembuka yang terlalu panjang, apalagi berbelit-belit akan membosankan. Panjang pendeknya suatu bagian pembuka sebenarnya relative tergantung pada panjang pendeknya isi wacana. Ada wacana yang dibuka oleh satu paragraf saja, namun ada juga yang memerlukan satu buku sebagai pembuka.

Di antara cara yang banyak ditempuh dalam membuka wacana adalah menguraikan tujuan penulis. Menguraikan tujuan adalah cara yang paling konvensional untuk menarik pembaca. Diharapkan, ketika pembaca melihat tujuan wacana itu bersentuhan dengan kepentingannya, pembaca akan serta merta bersedia duduk sejenak menyelesaikan bacaannya.

Selain menjelaskan tujuan, kadangkala, latar belakang wacana memberi sentuhan tersendiri pula. Walaupun wacana itu tak akan berpanjang-panjang dengan latar belakang tersebut, tetapi nilai rasa yang ada dalam latar belakang akan menular ke keseluruhan isi tulisan.

Masih banyak cara lain yang dapat dikembangkan untuk membuka wacana, baik dengan bentuk pernyataan yang to the point maupun dalam bentuk lain seperti kisah, anekdot, kutipan. pertanyaan provokatif dan lain-lain.

Berbeda dengan pembuka, bagian penutup juga tidak kalah penting. Penutup bertujuan menimbulkan kesan akhir yang positif kepada pembaca bahwa wacana ini tidak boleh diremehkan. Kalau perlu, pembaca dipancing untuk mengikuti wacana selanjutnya yang jauh lebih menarik. Bahkan, bagian penutup juga berfungsi untuk memotivasi pembaca untuk melakukan sesuatu

Cara yang paling banyak dipakai menutup wacana adalah dengan cara meringkas isi wacana. Meringkas bertujuan agar pembaca mengingat kembali butir-butir penting dalam wacana teersebut. Dalam tuslisan eksposisi dan argumentasi, bagian penutup berfungsi sebagai tempat menuliskan kesimpulan dari apa yang dieksposisikan dan diargumentasikan. Untuk persuasi, saran dan anjuran bertindak sangat penting ditekankan di bagian penutup. Karena itu, bagian ini digunakan sebagai tempat memotivasi pembaca untuk terakhir kali untuk mengambil tindakan yang tidak terkesan sebagai hasutan penulis.

Seperti juga membuka, banyak teknik menutup baik dengan cara to the point maupun dengan cara mengungkapkan kisah, menulis anekdot, menulis kutipan, atau mengajukan pertanyaan provokatif. Semuanya boleh dicoba sepanjang dapat menimbulkan kesn positif.

SEBERAPA PANJANG SATU WACANA ITU?

Wacana yang ditulis Sulaiman kepada Balqis hanya satu paragraf, yang tediri dari dua kalimat yang sangat mengesankan. Kalimat pertama berbentuk kalimat berita dan yang kedua berbentuk kalimat perintah.

Surat ini dari Sulaiman, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jangan engkau merasa sombong kepadaku, dan datanglah kepadaku dalam keadaan menyerah!.

Tapi pernahkah anda membaca Ihya Ulumuddin, karya Al-Ghazali? Wacananya terdiri dari 40 kitab. Setiap kitab dibaginya menjadi beberapa bab. Setiap bab dibagi menjadi beberapa fasal. Dan, setiap fasal terdiri dari puluhan paragraf.

Pada dasarnya, satu paragraf sudah merupakan satu wacana, seperti wacana Sulaiman di atas. Tapi, untuk menuntaskan seluruh tema yang memang sangat luas, diperlukan beratus-ratus paragraf seperti wacana Al-Ghazali. Luas-sempitnya temalah yang menentukan panjang pendeknya wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar